Dua Puluh Lima~

49.4K 2.1K 153
                                    

KINAR berdiri di depan sebuah meja kerja yang berserakan dengan kertas-kertas.

Di dekat meja itu terdapat sebuah kursi empuk yang kosong. Layar computer di atas meja masih hidup dan menunjukkan sebuah dokumen. Ruangan yang besar itu bisa membuat Kinar kepanasan. Gerah. Padahal sudah ada AC yang dihidupkan.

"Saya heran kenapa ada anak yang cukup keras kepala seperti kau."

Kinar menghela napas. Dari sudut matanya, ia bisa melihat jika pria berumur hampir setengah abad itu berdiri di depan kaca jendela besar mengarah ke jalan raya. Pak Arjuna-ayahnya Kinar sedang memperhatikan jalanan yang macet.

"Kenapa kau susah sekali diatur?" Tanya Pak Arjuna.

"Karena ayah tidak memberikan kebebasan-sedikit saja untukku." Jawab Kinar dengan sengit.

Pria itu berbalik dan menatap Kinar dengan tajam. "Terpaksa saya batalkan pertemuan dengan Pak Hendra."

"Kalau bisa, tidak usah bertemu saja."

"Tinggal menjawab lamarannya saja kenapa? Apa susahnya berkata iya?"

Kinar mendengus. "Apa susahnya memberikan aku kebebasan?"

"Jangan bertanya! Jawab saja!"

"Kenapa memaksa sekali? Ayah nggak pernah ngerti aku!"

Pak Arjuna mendengus dan menatap Kinar dengan tajam ke manik mata Kinar. "Kau... Cepat katakan kau terima lamaran itu. Setelah kau terima lamaran itu, saya tidak akan mencampuri kehidupanmu lagi. terserah kau mau melakukan apa. Dan perusahaan ini, terserah kau mau menjalankannya atau tidak. Jika kau menerima lamaran Angga-yang melamarmu itu, Angga yang akan menjalankan perusahaan ini. Bagaimana?"

Kinar terdiam. Ayahnya sudah menawarkan pilihan yang bagus sekali menurutnya. Jika ia menerima lamaran Angga, hidupnya akan bebas. Ia bisa kembali bercanda dengan teman-temannya, ia bisa bertemu kakak dan ibunya, dan ia juga bisa...

Kinar terdiam. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang mungkin bisa jadi membuatnya menolak lamaran Angga itu. Aric. Tapi...

Kinar menghela napas terlebih dahulu. "Aku mene-"

Entah bagaimana, seseorang membuka pintu ruangan kerja ayahnya dan langsung masuk ke dalam tanpa izin.

Kinar menoleh dan terkejut. Ia mungkin harus ke dokter untuk mengecek apakah jantungnya masih ada atau tidak.

Aric-baru saja ia pikirkan, langsung hadir di dalam ruangan itu. Dengan mukanya yang masih babak belur dan jalannya agak pengkang, tapi ia kini sudah berdiri dan berani menatap tajam Ayah Kinar.

"A-aric!" pekik Kinar pelan. Sumpah, ia terkejut dan masih terkejut. Bagaimana bisa seorang Aric menuju kesini? Oh, Kinar lupa. Aric selalu keras kepala dan seorang yang paling nekat dalam berbuat sesuatu.

Aric menoleh dan menyunggingkan sebuah senyum kecil di bibirnya yang sudut bibirnya sedikit koyak dan berdarah. Kemudian Aric kembali menatap pria yang masih dalam keterkejutannya.

"Siapa kau?" Tanya Pak Arjuna dengan nada yang agak sedikit mencerminkan kekagetannya.

Aric tersenyum sopan. "Maaf saya langsung menyelonong masuk ke ruangan Anda, Pak Arjuna. Dan maaf saya sudah menghajar satpam-satpam Anda di bawah yang tidak memperbolehkan saya masuk. Dan sekali lagi, saya minta maaf karena mengacuhkan ucapan asisten Anda dan mohon jangan pecat dia."

Kinar melongo. Dalam hal yang cukup nekat dan penuh resiko ini, Aric masih sempat-sempatnya berkata seperti itu. Dia memang sudah gila.

Aric kembali berbicara. "Perkenalkan saya adalah Alaric Aldrin Nachla. Agar lebih akrab, panggil saya Aric. Saya temannya putri Anda yang bernama Kinar."

RELATIONSHITWhere stories live. Discover now