BAB 11 (a).

297K 14.8K 162
                                    

Sudah hampir setengah jam Ramzan menunggu Nadira di depan komplek perumahan Dijah, namun tidak ada tanda-tanda Nadira muncul. Perasaan khawatir, cemas, dan semua perasaan yang tidak enak seketika memenuhi pikirannya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi.

Nadira sempat mengirim pesan tadi, bahwa dia sudah ingin pulang dan menunggu di depan komplek perumah ini, tapi sampai sekarang tidak ada Nadira disini.

'Apa mungkin dia sudah pulang?' tanyanya dalam hati.

Untuk memastikan semuanya Ramzan memutuskan untuk kembali ke apartemen.

Diperjalanan menuju aparteman, perasaan cemas itu semakin memenuhi pikirannya semua tentang Nadira.

Sesampainya di apartement Ramzan tidak menemukan Nadira disana. Keadaan apartemenya juga masih sama.

Ramzan juga sudah mengecek setiap sudut rumah ini, dari mulai kamar Nadira, kamar mandi, dapur, tetapi hasilnya tetap sama. Nihil.

'Kemana dia sebenernya?' tanyanya dalam hati pada diri sendiri.

Untuk pertama kalinya Ramzan merasa sebegitu cemasnya dengan Nadira, istrinya. Bahkan, dia tidak pernah merasa secemas ini pada Lisi.

Apa dia sudah mulai mencintai istrinya?
Tidak!
Ramzan selalu mengelak bahwa dia tidak mencintai Nadira, dia hanya beranggapan bahwa semua itu perasaan tanggung jawab, karena dia memiliki tanggung jawab terhadap istrinya itu, bukan perasaan cinta.

Cinta dan tanggung jawab itu dua kata yang sangat berbeda.

Dia hanya tidak ingin Nadira kenapa-napa, karena Nadira adalah adik dari wanita yang ia cintai Lisi. Dia tidak ingin sesuatu hal terjadi pada Nadira yang akan membuat hubungannya dengan Lisi akan hancur.

Hanya ada perasaan bertanggung jawab pada Nadira dan juga bayi yang dikandungnya, bukan perasaan cinta.

Egois? memang. Tetapi, mau bagaimana lagi? Perasaan cinta tidak bisa dipaksakan bukan? Hanya tinggal menunggu waktu yang akan menumbuhkan cinta dihatinya.

Ramzan merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya menghubungi Bagas.
Bagas adalah sekertaris sekaligus orang kepercayaannya, juga sahabat Ramzan.

Didering kelima sambungan telepon terjawab.

'Hallo?'

"Tolong carikan nomor telepon seseorang,"

"Siapa?"

Ramzan nampak berfikir mengingat-ingat salah satu nama teman Nadira.

"Dijah septya,"

Hanya nama itu yang ia tahu, karena Nadira sering menceritakannya kepada Ramzan tentang sahabatnya itu.

"Oke... Tunggu sepuluh menit, setelah menemukannya akan ku SMS ke nomormu,"

Ramzan memutuskan sambungan telepon. Mendudukan dirinya di sofa, memijat pelipisnya yang sedikit terasa pening. Semua karena memikirkan Nadira.

***

Dilain tempat. Disebuat ruangan yang sangat minim kecerahannya.

Rasa pusing pada kepala seorang wanita menyeruak begitu saja saat dia baru saja membuka kedua matanya.

Rasa pusing karena terpangaruh obat bius itu, membuatnya pingsan beberapa jam.

Nadira melihat sekililingnya, mendapatkan dirinya disebuah gudang dengan kecerahan yang sangat minim.

"Ternyata nona cantik ini sudah bangun," perkataan seseorang membuat Nadira sedikit terkejut.

Kini orang itu sudah berada dihadapannya, membuat Nadira semakin takut. Melihat itu, pria itu melangkah semakin mendekat kearah Nadira dengan seringaian jahatnya. Pria itu berjongkok tepat dihadapan Nadira.

Because I'm... Where stories live. Discover now