□05. Malam yang menyenangkan.

3.4K 187 2
                                    

Bagian lima

What?

-
-
-
-
-
-

Dulu, jika Arga sedang bermain dirumah Livia untuk bermain bersama Radit, Livia dengan senang hati bergabung bersama mereka. Entah hanya menjadi penonton saat mereka berdua sedang bermain basket atau mengganggu keduanya saat bermain play station.

Tentu, kali ini rasanya berbeda. Berusaha untuk tidur dan tidak memikirkan, pada akhirnya Livia menyerah. Bangun dari tempat tidur lalu pergi keluar kamar.

Memiliki pikiran untuk bergabung dan berkumpul bersama, pada kenyataannya yang bisa Livia lakukan hanya berdiri dibalik tembok lalu memeriksa keadaan di ruang tamu. Menghela napas saat masih menemukan mereka sedang bermain permainan online bersama. "Udah jam tiga pagi. Kenapa nggak pada tidur, sih?" Bisiknya pelan berusaha untuk mengamankan posisinya saat ini. Berharap kedua orang itu tidak melihatnya sedang mengintip.

Kalau dipikir-pikir lagi, melihat Arga dengan jarak lumayan dekat ini, membuat Livia sedikit tersadar bahwa Arga masih sama. Arga yang sedang tertawa-tawa karena guyonan Radit atau Arga yang terus mengumpat saat kalah dalam permainan adalah Arga saat tiga tahun yang lalu. Arga-nya saat itu. Arga Prasetyo Arsana yang Livia kenal.

Namun saat sadar bahwa Arga belum berubah, rasanya juga tidak benar sepenuhnya. Arga memang tidak berubah. Sifat dan sikapnya tetap sama. Namun, semua itu hanya berlaku untuk orang lain. Bukan untuk dirinya. Tentu, Livia makin sadar apa yang telah berubah. Begitu banyak hingga benar-benar membuat Livia tidak lagi mengenali Arga secara personal.

Semuanya sudah berbeda. Keadaan, situasi, dan perasaan Arga padanya.

"Sebentar lagi, Ga. Gue pastiin bakal menyerah kok. Jangan khawatir." Bisiknya lagi. Ah, sudah tidak kuat. Livia bisa-bisa menangis disini. Memilih untuk berbalik dan pergi tidur, sepertinya keputusan yang bagus.

Namun apa yang terjadi selanjutnya membuatnya membatu ditempat. Menatap sekeliling dengan gemetar saat seluruh ruangan tiba-tiba menjadi gelap. "Kenapa mati listrik segala sih?" Umpatnya pelan sambil tangannya terulur untuk memeriksa apa yang didepannya. Melangkah pelan tak menentu asal setidaknya Livia tidak menabrak meja atau yang parah menabrak tembok dan mendapat bekas keesokan harinya.

"Kak Radit?" Jika saja Livia masih berani, tentu tidak butuh bantuan Kakaknya itu. Namun, situasi yang makin mencekam dan Livia tak kunjung berada di pintu kamarnya, mau tak mau, Livia harus menemukan Radit atau bahkan Arga. Livia takut, sungguh. "Kak Radit?"

"Liv? Lo nggak dikamar?"

Livia menggeleng dikegelapan. Tersenyum  tipis saat setidaknya tahu bahwa ada Radit disekitarnya. "Tadi abis ambil air minum." Sahutnya berbohong. Ya, mau bagaimana? Tidak mungkin Livia menyahut dengan percaya diri bahwa dirinya habis mengintip? Ih, mau ditaruh dimana wajahnya nanti?

"Lo diem aja disitu. Nanti gue cari lo."

"Gue..." Livia meraba sekitarnya. Menghela napas saat tangannya memegang meja pantry. "Gue didapur. Buruan, Kak."

"Iya sebentar dong! Kan gue la---anjing!"

Terdengar suara barang jatuh. Sepertinya vas bunga. "Ih! Vas bunga jatuh, ya? Lo jangan kesini deh, nanti kena pecahannya."

"Bukan gue. Arga? Lo, ya?"

"Bukan gue juga. Gua kan disamping lo. Nggak liat?"

"Ya mana bisa liat Jaenudin?! Lu kira mata gue bisa menembus kegelapan?"

"Yaudah sih. Jangan nge-gas kan bisa."

Livia mengernyit. Merasa suasanannya makin menakutkan saat vas bunga milik Mama jatuh sendiri. "Ihhh.. kok creepy, sih?"

"Udah lo diem disitu. Nanti gue kesana. Lagian paling setan yang jatuhin."

"KAK RADIT!!!" Livia menjerit. "Jangan ngomong begitu. Serem tau nggak?"

Semuanya kembali hening. Radit, Arga, bahkan Livia memilih untuk diam saja. Namun, saat tiba-tiba teringat sesuatu, Livia kembali menyahut heboh. "Lo kan bawa ponsel, kak. Goblok banget, buset!"

Radit menepuk pelan keningnya. "Ohya! Kok bego?" Radit merogoh saku celananya, mengernyit bingung saat tak menemukan benda pipih itu. "Lho? Kok nggak ada?"

"Nggak inget pasti, tadi taruh ponsel diatas meja." Sahut Arga. Pria itu sebenarnya sudah menyadari tentang ponsel sedari tadi. Namun, karena Arga pun meninggalkannya diatas meja, pria itu pun memilih diam saja. Sedikit menghela napas pelan saat menyadari kebodohannya.

"Emang, ya?"

"Gimana sih? Kok bisa tinggalin ponsel diatas meja," Livia mendengus. "Cari dulu."

"Ribet! Mending cari lo dulu biar nggak bawel."

Livia menghentakan kakinya kesal. Radit yang tak kunjung menemuinya dan keadaan yang mencekam karena vas bunga, rasanya Livia ingin menangis saja. Biasanya saat seperti ini, Livia memeluk Mama. Tapi tidak adanya Mama disini, benar-benar menyiksa Livia. "Kak, buruan."

"Iya-iya. Sebentar lagi. Gue kayaknya udah disekitar dapur."

Livia memilih diam saja. Menunggu Radit menghampirinya dan berusaha mengusir pikiran-pikiran seram diotaknya.

Livia itu memang takut kegelapan. Rasanya, jika berada didalam ruangan yang gelap, Livia merasa banyak pasang mata yang sedang memperhatikannya. Membayangkannya saja, Livia benar-benar tidak bisa. Terlalu mengerikan.

Tiba-tiba pundaknya merasakan sentuhan. Tanpa berpikir panjang, Livia segera berbalik dan langsung memeluk sosok dibaliknya. "Akhirnya ... kenapa lama banget sih, Kak?"

Livia menumpahkan segala ketakutannya pada pelukan itu. Meredam tangis sekuat tenaga agar Arga tidak mendengar. Sudah cukup Arga mengenalnya dengan ratusan kelemahan. Jangan ada kelemahan lain yang Arga tau. Livia tidak mau. "L--lo lama tau, nggak? Gue takut."

Livia mengeratkan pelukannya saat tiba-tiba listrik kembali bekerja dan lampu kembali menyala. Berusaha menyembunyikan wajah dengan air mata dari Arga yang bisa saja melihatnya.

"LIVIA? LO NGAPAIN PELUK ARGA, BANGKE!"

WHAT?

-
-
-
-
-

💦💦💦

Edit : 260820

IMPOSSIBLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang