□28. LDR.

2K 106 1
                                    

Bagian dua puluh delapan

Bisa nggak ya gue LDR?

-
-
-
-
-

Livia menghela napas pelan, menatap lesu semua barang-barang yang tergeletak sembarangan dihadapannya ini.

Sepertinya permasalahan wanita segera dimulai. Ingin membawa barang banyak tapi tak ingin repot. Begitulah keadaan Livia saat ini. Seharusnya, Livia mengikuti saran Mama untuk membiarkannya yang mengemas barang. Karena, seperti saat ini, jika Livia yang melakukannya, hampir satu kamar bisa Livia bawa ke Jepang. Perasaan tak tega meninggalkannya atau perasaan takut barang itu malah diperlukan disana.

Dengan begitu, bukannya mengemas, Livia malah bersandar di kaki ranjang. Rasa capek lebih menguasai hanya melihat seluruh barang-barangnya tergeletak di lantai.

"Livia.."

Livia menoleh, memusatkan pandangan sepenuhnya pada pintu, "iya, Ma? Kenapa?"

"Belum selesai? Daritadi lho..." ujar Mama seraya kakinya kembali melangkah menghampiri Livia. "Butuh bantuan?"

Mendengar tawaran menggiurkan itu, mau tak mau Livia mengangguk setuju. Dengan begitu, Livia segera menggeserkan tubuh sedikit agar Mama bisa mengambil alih koper disampingnya. "Bantuin ya Ma, terserah deh apa aja yang mau dibawa. Kalo sama aku, nggak tegaan orangnya."

Mama tersenyum, tangannya mulai mengambil satu persatu barang dihadapannya. "Kalau baju udah selesai kan?"

"Udah kok, tinggal barang-barang aja,"

"Kalau begitu, seharusnya nggak lama. Kan tinggal masukin barang yang kamu kira penting,"

Livia menatap fokus tangan Mama yang sedang memasukkan barang kedalam koper, "ada yang penting, ada juga yang harus dibawa, Ma. Makanya aku bingung,"

"Yang harus dibawa itu apa?"

Livia segera menunjuk boneka beruang kuning di atas ranjang, "itu salah-satunya."

"Kenapa harus dibawa? Dari Arga?"

"Ih, bukaaaan..." Livia cemberut, Mama malah tertawa geli. "Itu dari Papa lima tahun yang lalu. Cuma dia yang nemenin aku kalau lagi sedih. Mama kan tau, aku kalo sedih ngurung diri di kamar. Ya otomatis cuma dia yang nemenin aku."

Mama menggelengkan kepalanya, heran luar biasa. "Untung ya itu boneka sering kamu cuci, kalo nggak Mama nggak setuju dia ikut kamu ke Jepang,"

"Pasti dong. Kalo nggak, aku juga nggak betah pelukin dia tiap malem,"

Mama tertawa pelan, lalu sejenak menghela napas sebelum menyahut lirih, "nggak kerasa kamu udah sebesar ini, Liv. Udah bisa pilih hidupmu sendiri, Jepang pula."

Sandaran dikaki ranjang terasa tak nyaman lagi saat Mama kembali berbicara. Tubuhnya sekilas menegang. Apalagi saat mendengar obrolan Mama yang kini menyangkut tentang keberangkatannya, sedikit membuat Livia terkejut. Karena sebelumnya, Mama selalu bersikap seperti biasa, tak banyak protes atau menyampaikan ketidak-sukaannya. Bahkan Mama tak banyak bicara saat Livia memutuskan akan melanjutkan pendidikannya di Jepang dan tinggal disana dengan jangka waktu yang cukup lama.

IMPOSSIBLE✔Where stories live. Discover now