□13. Arga sudah kembali!

2.8K 163 0
                                    

Bagian tiga belas

Gue cinta sama lo, Ga! Beneran.

-
-
-
-
-

Bertahun-tahun hidup bersama, sekalipun Radit tidak pernah melihat Livia se-absurd ini. Menari sambil menata makanan, menyanyi dengan suara jeleknya dan menjadikan gelas sebagai mic, dll.

Keanehan Livia yang paling tidak masuk akal menurut Radit, ya hanya saat menjadikan gula merah sebagai cemilan. Selebih itu, Radit menganggap Livia normal-normal saja.

Tapi, untuk saat ini, rasanya Radit ingin sekali membuka kepala Livia dan melihat isinya. Jika bukan otak, pasti kebodohan menggumpal disana. "Malam-malam, bukannya liat bidadari, yang ada badak lagi nyanyi."

Livia menyipit sinis. Menghentikan aktivitasnya yang sedang menaruh makanan terakhir dimeja. "Nggak ada gue liat badak, ya, yang ada gue liat muka setan malam-malam."

"Setan mana ada yang ganteng?"

"Yang bilang lo ganteng siapa? Angin?"

"Lo tuh ka---"

"Diem deh. Nggak tau lagi seneng, apa?"

"Emang nggak tau."

"Makanya diem!"

Seperti sebuah perintah dari dewa, Radit mendadak terdiam membatu. Kakinya melangkah mendekati Livia yang sudah selesai dengan tugasnya. "Makanya cerita."

"Diem ah! Rusak mood aja deh."

"Habis dapet order-an ya, lo?"

Livia melotot. Tangannya secara otomatis memukul pundak sang Kakak. "Bangsat! Lo kira gue jablay?!"

Radit meringis. Mengusap pelan pundak yang sudah menjadi sasaran Livia. Dia yakinkan bahwa esok hari pundaknya pasti sudah membiru. "Kok jablay sih? Maksud gue kan order barang gitu."

"Diem lo! Gue kesel sama lo." Livia merenggut. Menghentak kakinya merasa kesal luar biasa dengan Radit. Livia berani bersumpah bahwa beberapa menit yang lalu dirinya memang sedang bahagia. Namun, memang pada dasarnya, Radit adalah orang paling menganggu se-dunia, tidak bisa lagi menampik bahwa Radit juga akan menganggu hari bahagianya ini. "Jangan ngomong sama gue hari ini."

"Berarti besok boleh?"

"Bodo amat." Biarlah, pemikiran bodoh Radit dengan segala kebiasannya. Livia sudah tidak ingin berdebat dengan orang semacam Radit. Percayalah, berdebat dengan Radit adalah hal melelahkan sepanjang masa.

Livia sudah berniat akan meninggalkan Radit dan pergi ke kamarnya, jika saja Arga tidak datang dengan sekantong es buah.

Melihat penampakan es buah dari luar saja membuat Livia melupakan kekesalannya pada sang Kakak. Memilih menghampiri Arga yang sudah terduduk di sofa dengan santainya. "Dateng nggak bilang-bilang," Livia sudah duduk disamping Arga. Mengambil kantong es buah dan melihat isinya. "Kok satu doang?"

"Tadi emang mau main kesini, liat ada tukang es buah di depan, gue beli aja. Satu doang karena emang cuma buat lo," Arga mengedarkan pandangannya pada sekitar, lalu tersenyum tipis. "Semalam kan lo bilang Orangtua lo lagi nggak di rumah, jadi beli buat lo doang. Eh, ternyata masih ada penghuni lain, ya." Arga tertawa kecil saat tatapan matanya berhenti pada presensi lain yang sudah menampakan wajah ketusnya. Beneran ya, kalau sedang di waktu yang tepat, Arga ingin sekali mengambil ponsel disaku celananya, lalu mengambil beberapa foto wajah Radit saat ini. Lumayan lah, bisa dijadikan alat untuk mengancam Radit lewat Alya.

"Ingatlah kenangan kita saat masih bersama. Kau melupakanku begitu saja saat seseorang yang pergi, kembali lagi."

Arga maupun Livia hanya mengernyit bingung. Menatap Radit dengan wajah memelasnya pun baru saja mendengar kalimat menggelikan yang baru saja keluar dari mulut pria most wanted pada masanya. Radit itu kenapa sih? Kekurangan kasih sayang ya?

"Tuhan, jika masih ada satu karma yang tersisa, tolong berikan pada orang yang baru saja membawa satu es buah dan nggak mau bagi-bagi."

"Sakit nih orang." Arga menggeleng pelan pun Livia yang sudah pergi ke dapur untuk mengambil piring. "Mumpung ada jasa antar ke RSJ, gimana kalau sekarang aja lo kesana?"

"Diem lo!"

"Galak amat, buset."

"Lagi datang bulan, Ga, maklum aja ya. Perawan baru gede soalnya." Sahut Livia yang sudah membawa satu buah piring ukuran sedang.

Radit mendengus. Paket lengkap memang. Livia dan Arga memang sangat cocok jika disatukan. Ibarat manusia yang menjadikan satu orang sebagai kekuatan, Livia sudah seperti itu. Keanehan Livia saat sendiri masih bisa dianggap wajar, namun jika disatukan dengan Arga, keanehan mereka benar-benar menjengkelkan. "Iya gue perawan? Mau lo sama gue, Ga?"

"Ih! Amit-amit!"

-
-
-
-
-

💦💦💦

Bersantai bersama beberapa cemilan dengan sebuah film yang terputar, nikmatnya memang tak ada duanya. Apalagi, jika dipikir-pikir kembali, hal seperti ini menjadi sebuah kegiatan baru bagi Livia. Biasanya, jika sedang ingin menonton film, Livia sudah pasti mengajak teman-temannya pergi ke bioskop. Namun, saat bersama Arga seperti ini, rasanya hal-hal sederhana-pun terasa sangat mewah baginya. Entah karena aktivitasnya yang tak biasa, atau karena kebersamaan dengan seseorang itulah yang membuat semuanya terasa berbeda.

"Sebentar lagi diatas lemari ada setan."

"Kok lo tau sih? Udah pernah nonton ya?"

"Emang udah."

"Curang!"

Arga tertawa pun saat pinggangnya menjadi sasaran cubitan Livia. "Sakit, bego!"

"Lo duluan, ya?"

"Gue ngapain?"

"Curang!"

"Curang kayak gimana?"

"Kayak gini nih," seketika, Livia menampakan wajah konyolnya. Mata yang dibuat sepenuhnya putih, lalu kesepuluh jarinya dibuat seperti cakaran,  dan bersuara seperti seekor macan. Jangan tanyakan kemampuan seperti ini berasal darimana, jika dibayangkan lagi, Radit adalah guru yang sebenarnya. Livia banyak belajar dari pria itu.

Dengan sekali kedip, Arga sudah terjatuh dari atas sofa dengan tawanya yang tak kunjung berhenti. Bahkan, Livia bisa melihat pria itu sudah memegangi perutnya yang kram dan tak lupa mengusap airmatanya yang sudah menumpuk diujung mata. Livia bahkan sempat terdiam sesaat. Sumpah demi apapun, ini kali pertama Arga tertawa selepas itu didepannya setelah tiga tahun. Bahkan, tawa itu, wajah itu, benar-benar seperti Arganya yang dia kenal.

Arga, pria itu benar-benar kembali.

Dengan senyum selebar mungkin, Livia menghampiri Arga yang baru saja terduduk diatas permadani. Dengan tatapan tulusnya, Livia menarik Arga kedalam dekapannya.

Tidak apa-apa. Hanya saja, Livia merasa benar-benar bahagia hari ini. Sebuah alasan yang sudah tertanam dihati, cukup dirinya saja yang tau. Bahkan, Livia harap semesta pun tak bisa mengetahuinya.

Perasaan ini, perasaan bahagia ini, inilah yang Livia cari selama ini. Bersama Arga, Livia mendapatkannya. Hanya bersama Arga. Ya!

"Gue cinta sama lo, Ga! Beneran."

-
-
-
-
-

💦💦💦

Edit : 241020

IMPOSSIBLE✔Where stories live. Discover now