□12. Mimpi indah.

2.9K 169 0
                                    

Bagian dua belas

Kalau nggak mau jawab, bilang aja sih!

-
-
-
-
-
-

"Seriusan?!"

Livia mengangguk dengan semangat. Tersenyum-senyum bahagia yang tentu membuat Ratna mendelik ketus.

Hari ini jadwal Livia dan kedua temannya untuk berkumpul mingguan di rumah Ratna. Biasanya, kebiasaan ini dimulai pada sore hari sepulang sekolah. Tapi, Widya sedikit terlambat karena harus menjemput keponakannya di tempat les matematika. Maka dari itu, Livia baru bisa menceritakan apa yang terjadi dengannya kemarin pada mereka sekarang, beberapa menit sebelum tidur.

Naura yang sebelum itu sibuk menahan rasa kantuknya, mendadak segar dengan mata melotot seperti baru saja disiram air. "Bohong ya lu!"

"Yaampun, beneran buset!" Livia sudah mengangkat dua jari tinggi-tinggi. Berharap semua temannya percaya. Tapi, jika dipikir-pikir, untuk apa Livia berusaha keras membuktikannya. Toh, hubungan kan bukan hal yang bisa disembunyikan dengan baik. Kalau tidak percaya, mereka pasti akan melihatnya di sekolah. Saat itulah Livia akan memamerkan hubungannya dengan Arga.

Dengan begitu, kedua jari yang sudah berada diudara, segera Livia turunkan kembali. Gadis dengan piyama beruang merah muda itu beralih menatap teman-temannya sinis. Kedua tangannya sudah terlipat di depan dada. "Ya terserah sih kalau nggak percaya. Yang penting gue udah cerita."

Widya mendadak terdiam. Menatap Livia yang sudah mendongak sombong dengan tatapan sinisnya itu. "Iya deh, yang udah nggak jomblo mah emang beda auranya."

"Masih nggak percaya, gue." Ratna menggeleng pelan. "Halu lagi ya, lo!"

"Nggak ih!" Livia mencebik. Apa-apaan, halu katanya. Enak saja! "Beneran bangke!"

"Coba sekarang telpon Arga!" Ucap Naura menantang. Mendadak Ratna dan Widya terkikik geli saat mendapati wajah memerah Livia. "Kalo nggak mau ber---"

"Iya-iya!" Livia mendengus. Seharusnya dirinya tahan dan tidak menuruti perintah konyol Naura. Namun, anehnya kenapa dirinya kini mengambil ponsel diatas nakas dan mulai mencari kontak bernama Arga dengan bentuk hati disampingnya.

Ditambah, perintah kedua dari Ratna yang menyuruhnya untuk loudspeaker panggilannya dengan Arga, sangat mudah dirinya turuti. Ah Livia ... kenapa lemah sekali dengan tatapan garang mereka?

Tut...

Terdengar suara sambungan beberapa menit sebelum sebuah suara mulai memenuhi indra pendengaran. "Halo?"

Livia menatap teman-temannya sekali lagi. Berharap, mereka mau berbaik hati untuk membatalkan apa yang dirinya lakukan sekarang. Ayolah, sekarang sudah pukul sebelas malam. Bagaimana jika Livia ternyata menganggu tidur Arga? "A-arga?"

"Kenapa Liv?"

Livia kembali menatap teman-temannya. Menanyakan tanpa suara apa yang harus dia lakukan?

"Lo tanya, dia cinta nggak sama lo." Ucap Ratna benar-benar pelan. Bahkan Widya sampai bertanya karena tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Ratna.

"GILA LO!" Umpatnya tanpa suara. Livia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran dan isi otak Ratna. Kenapa harus menanyakan hal memalukan seperti itu? Benar-benar!

"Buruan!"

Livia mendengus pun tak bisa menghindar lagi. Dengan helaan napas panjang sebelum suaranya kembali terdengar sedikit menciut. "L-lo cinta nggak sama gue?"

"Kenapa nanya begitu?"

"Eum..." Livia kembali memandangi teman-temannya. Namun, ketiganya kompak mengalihkan pandangan.

Livia memutar bola matanya. Ingatkan dirinya untuk mencubit pinggang teman-temannya nanti. "Jawab aja, Ga."

"Kasih tau dulu, kenapa lo nanya kayak gitu."

Livia berdecak tanpa sadar. Tiba-tiba merasa kesal juga saat Arga alih-alih menjawab, pria itu terlalu berputar-putar. Padahal, pertanyaan seperti itu bukan hal yang sulit saat sudah menjalin hubungan tanpa status selama sebulan lalu memutuskan untuk menjalin hubungan sepasang kekasih kemarin. "Kalau nggak mau jawab, bilang aja sih!"

Ya Tuhan. Sungguh tak ada niat sedikitpun merumitkan hal seperti ini. Bukan hanya karena perintah Ratna, namun hal seperti ini pun rasanya memang dibutuhkan. Mendengar Arga yang terlalu bertele-tele, entah kenapa rasanya geram sekali.

Ratna yang sedari tadi sudah terdiam membatu karena mendengar pertengkaran Arga dan Livia, memutuskan untuk ... ya diam saja. Karena sungguh, melihat interaksi mereka berdua yang seperti kembali lagi, sedikit menghiburnya. "Lanjutkan, Liv!" Ucapnya tanpa suara. Naura yang melihat itu, bahkan sudah tertawa pelan.

"Lo masih nanya hal kayak gitu setelah apa yang terjadi kemarin?"

Livia terdiam. Masih mendengarkan.

"Kalau ada sebuah kalimat atau alasan lebih dari cinta, itu adalah arti lo bagi gue. Bahkan cinta aja gue rasa nggak bisa mempertahankan sebuah hubungan. Gue cinta sama lo, itu adalah hal dasar dalam menjalin hubungan, Liv. Lo pikir aja, kalau gue nggak cinta sama lo, terus ngapain gue ngajak lo pacaran? Harusnya lo nggak perlu mempertanyakan hal kayak gitu."

Livia masih diam. Entah kenapa hatinya menghangat tiba-tiba. Rasanya, kalimat yang baru Arga ucapkan, begitu meyakinkan dirinya, bahwa Arga memang ada untuk dirinya. "Maaf."

"Lo kenapa? Malem-malem nanya begitu. Ada yang lagi ganggu pikiran lo?"

Livia mendelik. Menatap ketiga temannya yang sudah beranjak ke atas kasur seakan tidak terjadi apa-apa. "Iya, tadi ada setan."

"Yaudah, sekarang lo tidur. Besok sekolah, Liv."

"Maaf ya, Ga. Gue nggak maksud. Tadi disuruh sama Ratna buat nanya gitu sama lo."

"Terus lo nurut aja?"

"Iya. Soalnya mereka nggak percaya kalo kita pacaran."

"Ck, yaudah besok gue marahin Ratna."

Livia tersenyum tipis. Menjulurkan lidah tatkala Ratna melotot diatas kasurnya. "Mampus!" Ucapnya tanpa suara.

"Oke deh, gue tutup ya. Bye."

"Oke."

Panggilan pun terputus.

Livia melompat-lompat ditempatnya. Tertawa puas pun rasanya sangat bahagia. "Tuh kan, gue nggak bohong."

"Iya deh iya." Ketiga temannya tertawa. Entah merasa lucu dengan tingkah Livia pun karena mungkin pada akhirnya Livia memang benar-benar sudah bersama Arga.

"Malam ini gue mimpi indah. Pasti!"

-
-
-
-
-
-

💦💦💦

Edit : 031020

IMPOSSIBLE✔Where stories live. Discover now