□09. Permintaan maaf.

3K 187 0
                                    

Bagian sembilan

Karena gue suka sama lo, Arga! Puas?

-
-
-
-
-
-
-

Dulu sampai sekarang, Mama adalah koki terbaik bagi Livia. Menurutnya, tidak ada yang tidak bisa dibuat oleh Mamanya. Semua jenis makanan yang Livia ingin, tidak pernah beli diluar. Mama selalu membuatnya untuk Livia. Lagipun, makanan kesukaannya tak jauh dari sate ayam dan soto ayam.

Kali ini berbeda. Dirinya seperti ditantang membuat kue sendiri walaupun ya masih dibantu Kak Alya. Namun, tetap saja bagi Livia ini adalah sebuah hal yang baru. Livia jarang membuat kue dirumah walaupun bisa. Livia tidak terlalu menyukai kue, jadi Livia tidak tertarik mengasah kemampuannya dalam membuat kue.

"Kemarin, lo kenapa bisa sama Afkar, Liv?"

Livia mengalihkan pandangannya. Menatap Kak Alya yang sedang mengaduk adonan. "Dia yang temuin aku, Kak." Selain Ratna dan temannya yang lain, Kak Alya ini termasuk orang yang sedikit mengetahui permasalahan Livia dengan Afkar. Saat masih berteman dengan Arga, Livia sering meminta pendapat pada Kak Alya. Termasuk tentang Afkar ini. Hanya saja, Kak Alya tidak mengetahui sosok Afkar. Kemarin adalah pertemuan pertama mereka. "Aku nggak tau kenapa bisa pas gitu kita ketemu."

"Tapi dia nggak macem-macem kan sama lo? Lo sampai nangis gitu."

"Nggak kok, Kak. Itu saking kagetnya aku sampai jatuh, jadi nangis deh."

Alya tertawa. "Bohong banget, yaampun."

Mau tak mau, Livia ikut tertawa. Tak pandai berbohong, tentu tak mudah membuat orang percaya. Apalagi macam Alya yang memang tidak bisa dibohongi. Ah, seketika merasa miris pada Kakaknya. Yakin, pria itu tidak ada nyali untuk berbohong sekalipun. "Beneran lho, Kak. Aku kaget. Bedanya aku nggak jatuh, tapi jatuhin diri sendiri," Livia tertawa kecil. Membayangkan kembali kejadian kemarin itu. Jika dipikir-pikir kembali, rasanya sedikiti memalukan. Apa ya, menangis lalu terduduk-duduk ditanah dan disaksikan oleh mantan, bukan hal yang harus mendapat penghargaan. Livia mungkin harus mengurangi menonton drama. Hidupnya, serasa makin terlalu banyak drama.

"Untung ada gue lho, Liv. Jadi, bisa bawa lo yang keliatan panik itu. Arga khawatir banget, gue jadi ikutan panik pas nyamperin lo."

Oh iya, Livia hampir melupakan itu. "Masa sih, Kak? Arga khawatir sama aku?"

"Beneran. Dia juga yang lihat lo pertama kali. Tapi menurut gue tetap aja aneh sih. Si Arga ini nggak pernah mau gerak sendiri. Nggak tau mager atau apa, selalu suruh orang atas kekhawatirannya atau kecemasannya."

Livia tersenyum miris. Karena dia benci gue. "Itu kue yang di oven biar aku yang tungguin. Kak Alya tadi mau mandi kan? Mandi aja."

"Oh, yaudah. Gue mandi dulu ya."

Livia mengangguk setuju. Dengan begitu, Alya berlalu, pergi meninggalkan dirinya.

Sekarang, Livia yang bingung akan melakukan apa. Menunggu kue matang, bukan hal yang menyenangkan.

Dengan begitu, yang bisa dia lakukan mungkin hanya menatap sekeliling. Melihat suasana rumah keluarga Arga yang masih sama seperti pertama kali dirinya berkunjung kesini. Warna cat, posisi setiap benda atau bahkan bingkai foto yang terpajang di dekat tangga. Semuanya sama. Bahkan foto ditangga itu, adalah foto dirinya dengan Arga saat bermain di pantai. Arga masih menyimpannya. Livia ingin menangis rasanya.

IMPOSSIBLE✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat