□27. Kentut

1.8K 111 0
                                    

Bagian dua puluh tujuh

ANJING! BAU KENTUT SIAPA NIH?

-
-
-
-
-

Ujian hari terakhir itu memang paling hebat. Hebat susahnya, hebat sulitnya, hebat pusingnya, hebat soal-soalnya. Padahal, hari terakhir ujian diisi oleh mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi entah mengapa, menghadapi bahasa sendiri sudah pusing tujuh keliling.

Jujur saja, mungkin jika Livia menemui manusia yang menyepelekan pelajaran Bahasa Indonesia, sudah dipastikan rambutnya tak tersisa lagi. Habis dijambak kalau bisa dicukur di tempat.

Menurutnya, pelajaran Bahasa Indonesia tidak ada mudahnya. Semua sulit. Walau soalnya hanya sebuah cerpen, tapi jika pertanyaannya sudah menyangkut jelaskan, sebutkan, dan berikan contoh, Livia tentu sudah ingin menyudahi sepihak ujian tadi. Apalagi, ditambah pengawas ujian yang tidak toleransi dengan segala bentuk kecurangan, walau cuma berbisik minta satu soal, membuat Livia ingin membakar saja soal dihadapannya yang setebal koran itu.

Tapi, mengurungkan niat untuk mencari mangsa yang bisa dirinya cukur hingga botak, Livia malah menemukan semua temannya berkumpul di meja kantin seperti biasa, dengan wajah lesu tiada ampun. Jika wajah-wajah itu disandingkan dengan lembaran uang sisa di kantong supir angkot, mungkin akan terlihat sama. Sepertinya, hari ini hari yang melelahkan ya.

"Mukanya yang udah jelek jangan makin ditekuk begitu, dong. Nggak enak banget liatnya." Livia menggeleng pelan. Tentu, yang baru saja bersuara bukan dirinya. Siapa juga yang berani menyuarakan pendapat ditengah suasana hati yang sedang tidak baik. Cari mati sih namanya.

Tapi, ingat ya. Itu semua tidak berlaku pada Ratna Wijaya. Mulut corong bensin, memang hobinya membesarkan api yang baru saja menyala. Tidak kenal ampun, tidak kenal takut. Kalau sudah dikeluarkan aksinya, tentu selanjutnya adalah perang antar teman.

"Diem Rat, kepala gue udah mau pecah jangan bikin beneran pecah nih," sahut Naura dengan setengah-setengah. Ya, setengah malas dan setengah emosi.

"Corong bensin jangan sampe gue balikin lo ke SPBU, nih." Kali ini Rafa yang menyahut.

"Gue lagi males banget ngelawan lo, tapi kalo lo niat ngajak gue gelud, ayo dah. Lapangan kebetulan lagi kosong nih," ucap Yudha dengan mata setengah terpejam. Sepertinya dirinya butuh tidur.

"Kemarin gue liat mang Yanto baru beli gunting rumput lumayan gede sih, lumayan buat potong mulut lo itu. Mau?" Gamma sudah berdiri. Memasang ancang-ancang sebelum benar-benar pergi ke gudang sekolah.

"Gue nggak ngerti, tapi kalo mau gelud ajak gue juga. Gue bagian konsumsi deh," ini Arga. Agak absurd memang.

Widya menoleh kanan-kiri. Meraba meja sebelum mengambil tumpukan sendok dan garpu. "Saran aja sih, kalau mau berantem, enaknya pake senjata. Ayo-ayo dibeli sendok garpunya cuma dua puluh ribu. Target tewas gue puas."

Ratna melongo, terkejut dengan tingkah teman-temannya. Bahu gadis itu menurun seiring tangannya merampas beberapa garpu dan sendok yang mengayun diudara karena ulah Widya. "S-santai bro, gue kan cuma mengkritik,"

Livia terkikik. "Bedain dong kritik sama menghujat. Kritik kan nggak bawa-bawa fisik. Kritik itu sekalian kasih saran," sungguh, hal seperti ini jangan kalian anggap serius. Coba liat wajah pucat Ratna, Livia tentu lebih memilih menahan tawa mati-matian daripada menjadi sekutu gadis itu. "Kalo ngerasa salah jangan kasih penjelasan. Cukup minta maaf biar yang maafin lo, bisa ikhlas lahir batin, hahaha."

Tak lama, Livia bisa merasakan tangan lain masuk, melingkari lengannya. Jangan ditanya siapa, sudah pasti Ratna. Mungkin kali ini Livia bisa meralat ucapannya tadi dibagian tak kenal takut. Pada dasarnya, yang meringkuk disebelahnya adalah orang yang sama dengan orang yang baru saja menganggu Singa lapar. "Maaf deh,"

Naura memutar bola matanya. Sebenarnya memang tidak marah sih, tapi Ratna itu kadang tidak pernah mengerti betapa pentingnya situasi dan kondisi. Sedang pusing-pusingnya karena ujian, dia malah mengibarkan bendera perang. "Lagian lo, sumringah amat kayaknya. Tadi ngerjain soal, nggak susah emang?"

"Selain nomor 40 sama 32, gue lancar." Ratna tersenyum senang. Suasananya sudah kembali seperti semula, malah lebih menyenangkan. Ah, memang teman sejati itu tidak pernah marah berlama-lama. "Kesel sih, jawabannya menjebak semua,"

"Iya tuh nomor 40, emang apa jawabannya?" Rafa menyahut, tubuhnya dengan cepat merespon hingga menghalangi pandangan Yudha. "Badan lo bau, anjing!"

Rafa mengeryit, memalingkan pandangan pada Yudha dengan sorot mata tak suka. "Jangan fitnah lo! Badan gue nggak bau, ya!"

"Bau bangke, anjing! Lo abis darimana sih?"

Rafa kembali duduk tegak. Kali ini tangannya mengepal diudara, "gue bilang gue nggak bau!"

Naura menghela napas. Tangannya memainkan garpu dengan malas, "nah gelud lagi deh, mantap."

Yudha kembali ingin menyahut, jika saja Gamma tak segera menarik Yudha hingga menjauh dari Rafa beberapa senti. "Udah-udah, masalah bau doang anjir."

"Masalahnya ini udah bau banget, babik. Lo pada nggak nyium apa?"

Gamma terkikik geli. "Sebenernya itu bau kentut gue,"

"Apa?!" Yudha menoleh, menatap Gamma disampingnya dengan geram.

"Sori-sori. Kelepasan,"

Widya mengernyit, "kok gue nggak nyium? Padahal gue ada disamping lo?"

"Tadi pas lagi debat gue kipasin, nggak tau kenapa nggak nyam---"

"ANJING! BAU KENTUT SIAPA NIH? BANGSAT! BAU SAMPAH!"

Gamma meringis. Tangannya dengan sigap menutupi seluruh wajahnya lalu tangan yang lain memilih memainkan ponselnya.

Arga yang pertama kali tertawa, menyadari betapa bodohnya temannnya yang satu ini. Sudah membuat kedua temannya sendiri bertengkar, kali ini karena kentutnya itu, semua orang dikantin memilih meninggalkan makanan mereka dan keluar dari kantin. "Jadi kenapa kita nggak nyium kentut Gamma, karena kentutnya udah di ekspor ke pengunjung belakang? Hahaha, gokil sumpah!"

-
-
-
-
-

💦💦💦

Edit : 161220

IMPOSSIBLE✔Место, где живут истории. Откройте их для себя