□17. Teror

2.2K 122 2
                                    

Bagian tujuh belas

Lo akan baik-baik aja, gue janji.

-
-
-
-
-

Memang ya, takdir dan nasib itu tidak bisa ditentukan dengan sesuka hati. Apalagi ditawar atau bahkan ditolak.

Entah kenapa hari ini rasanya hari yang begitu menjengkelkan. Dimulai Arga yang tidak bisa mengantar dirinya pulang karena ada urusan, lalu Radit yang tidak bisa menjemput karena harus pergi bersama Alya.

Belum puas dengan dua hal itu, transportasi umum maupun online tidak ada yang benar sama sekali. Dari tidak adanya kendaraan itu lewat didepan sekolah, lalu ponsel yang kebetulan kehabisan kuota internet. Kenapa semuanya terasa pas sekali? Ya Tuhan..

Memilih untuk berjalan kaki sambil pergi ke pangkalan ojek diujung jalan sana, Livia memantapkan hati bahwa hari ini adalah satu hari dimana dirinya dilatih kesabaran dengan ekstra. Siapa sih yang tidak emosi dengan kesusahan berturut-turut? Ditambah cuaca hari ini begitu panas membuat emosinya seperti diisi ulang setiap langkah yang dirinya lewati.

Namun, saat Livia sudah menerima apa yang baru terjadi pada dirinya, tiba-tiba tubuhnya terlempar beberapa meter dari tempat semula dia berdiri.

Terdiam sesaat saat otak mulai mencerna apa yang baru terjadi. Jika saja orang-orang disekitarnya tidak berteriak panik, atau darah yang keluar dari siku dan kakinya, Livia tidak akan tau bahwa dirinya baru saja ditabrak motor.

-
-
-
-

💦💦💦

"Gue cuma keserempet motor doang, Arga. Pasti si Radit ngelebih-lebihin, ya?"

Tidak ada yang lebih melegakan selain melihat Livia baik-baik saja dan masih bisa berbicara padanya. Dari awal mendapat pesan itu, Arga sudah tidak bisa berpikir jernih. Segala sesuatu yang mungkin terjadi, menjadi suatu kepanikan selama perjalanannya dari rumah menuju rumah sakit. "Beneran udah nggak apa-apa?"

"Iya, ini kan udah di obatin sama Dokter, cuma diperban doang kok. Nanti sore juga bisa pulang," Livia mengalihkan pandangan pada Radit yang sedang memainkan ponsel. "Lo ngomong apa aja sama Arga? Parah lo, Kak! Anak orang sampe panik gitu."

Radit melirik sekilas. "Diem Liv, gue lagi main game nih," sahut Radit sedikit kesal. Namun, tiba-tiba Radit memasukan kembali ponselnya ke dalam saku saat dirasa cowok itu mengingat kejadian tadi pagi. "Arga?"

"Apa?"

"Livia udah cerita belum kalo jendela dikamar dia dilempar batu jam tiga pagi."

"Belum." Arga mendengus. "Kok lo nggak cerita?"

Livia tersenyum tipis berharap Arga tidak marah padanya. "Niatnya mau hari ini kok. Tapi karena ada musibah aja, jadi lupa."

"Bohong Ga, dia sebenernya nggak mau cerita itu sama lo."

"Berisik burung pipit!"

"Kecil banget burung pipit, nggak burung elang aja?"

"Bacot!" Memilih untuk mengabaikan Radit, Livia rasa dia harus menceritakan apa yang dirinya khawatirkan. "Ga,"

"Iya, Liv?"

"Gue rasa, si Aneila itu nggak becanda deh."

Arga menghela napas. Seharusnya, Arga tidak bisa percaya begitu saja dengan ancaman-ancaman Aneila, namun saat melihat apa yang terjadi tadi siang ditambah apa yang dilakukan Aneila dipagi hari, rasanya cewek itu tidak akan bercanda. "Tapi lo nggak apa-apa kan?"

"Gue baik-baik aja kok."

Lo akan baik-baik aja, gue janji.

Livia tertawa kecil saat mendapati Arga masih terlihat tidak tenang. "Yaampun, Arga! Gue baik-baik aja."

"Coba ceritain tadi siang kenapa lo bisa kayak gini."

"Ya simple aja, gue yang lagi jalan kaki, tiba-tiba diserempet motor. Tapi aneh nggak sih, Ga, kan gue lagi dipinggir kan, bisa gitu ya motor nyerempet gue, kayak sengaja nggak sih? Daritadi gue kepikiran mulu, tapi kata Kak Radit, jangan nethink."

Emang disengaja itu, Liv. "Iya, lo nggak boleh nethink. Sekarang lo istirahat aja sampe sore."

"Ide bagus, gue juga capek banget."

"Oke, gue keluar dulu kalo gitu."

Livia mengangguk pelan, dengan begitu Arga segera keluar dari ruangan, meninggalkan Livia bersama Radit yang entah sejak kapan sudah tertidur.

Memilih untuk pergi dan duduk diruang tunggu, Arga kembali teringat apa yang baru saja dirinya bicarakan dengan Aneila. Sebuah kesepakatan besar menurutnya.

"Gimana kalo putus dari Livia?"

"Gila lo! Gue nggak mau."

"Oh, boleh. Tapi tau nggak, Arga, gue punya ratusan rencana buat Livia biar dia celaka."

"Oke, gue akan turutin perintah lo, asal lo berhenti dengan rencana-rencana lo. Jangan sakitin Livia lagi."

"Deal"

Sekarang yang harus Arga pikirkan, bagaimana caranya meninggalkan Livia tanpa membuat cewek itu terluka karenanya.

"Butuh bantuan, Arga?"

Arga mengalihkan pandangannya. Mendapati sosok tak terduga sudah berdiri dihadapannya membawa sebuah tawaran menggiurkan yang sukses membuat sudut bibirnya tertarik.

Entah kenapa, Arga sedikit memiliki kekuatan untuk melawan Aneila dan mencari tau alasan dibalik semua sifat dan sikap cewek itu.

-
-
-
-
-

💦💦💦

Edit : 241020


IMPOSSIBLE✔Where stories live. Discover now