chapter thirteen

15 5 4
                                    

Night change - One Direction

"Maaf, tapi, lu yatim Al?" tanyaku padanya.

"Emangnya kenapa?"

"Enggak, gua baru tau."

"Hah? Lu baru tau? Gua itu Yatim dari kelas tiga SMP, udah dua tahun yang lalu."

"Kalo boleh tau, emang kenapa meninggalnya? Terus sekarang adik lo usianya berapa?"

"Kecelakaan. Jadi ceritanya pas abis bokap gua pulang kerja, dia kayak dihantam truk gitu. Adik gua usianya udah sembilan tahun."

"Keseret atau kelindes? Adik lo gimana sekarang? Dia sama nyokap lo doang?"

"Dua-duanya, makanya tubuhnya hancur pas mau di makamin. Iya, kadang nenek gua sering mampir kerumah buat nemenin nyokap sama adik gua."

"Innalillahi. Turut duka ya, sorry kalo gua lancang nanya privasi lo, gua baru tau kalo selama ini lo itu Yatim."

"Yaelah, ngga apa-apa lagi. Sering kok dan banyak pula orang yang belom tau tentang hal ini. Termasuk Sekar."

"Sekar engga tau? Tapi kan dia--"

"Iya gua tau. Mungkin belom saatnya. Lagi pula, pasti dia juga ngga terlalu memperduliin." ujar Alken memotong ucapanku.

"Iya, tapi, setidaknya dia boleh tau juga kali, Al. Walaupun Sekar cuek orangnya, tapi dia lumayan care kok. Apa lagi sama pacarnya." ujarku dan tersenyum setelahnya.

"Yaa, gimana lagi ya Has, hubungan gua sama dia juga dari awal udah renggang."

Aku menunduk, dan kemudian berfikir untuk perkataan apa lagi yang harus aku lontarakan?

"Hmm, bukannya gua mau jadi PHO. Tapi gua cuman mau nanya, kalo tau ujung-ujungnya begitu, kenapa lo masih stay sama dia?"

'gua jahat banget si, sumpahh.'

"Karena, mungkin, karena gua sayang kali ya sama dia." jawab Alken.

'rasanya kayak lagi disuntik tau ngga? ntus-ntus, sakit, nyesek.'

"O--ohh, heh, hmmm." aku mengangguk sambil ber'oh'panjang dan berdesis pelan.

Enggak tau harus apa lagi yang musti di tanyakan. Karena mungkin pertanyaan berikutnya malah ngebuat aku lebih sakit hati.

Akhirnya aku diam dan mulai menyeruput kopi hangat yang tadi sudah aku pesan.

"Kalo gua yang nanya boleh?"

Aku mengangguk. "Nanya aja kali, enggak apa-apa."

"Elu kesini ngapain? Enggak sengaja atau emang lagi ada masalah?"

"Bukan lagi ada masalah si, tapi lebih tepatnya, lari sebelum datang masalah."

Alken tertawa kecil, akupun juga. Kamipun mulai kelihatan lumayan akrab, walau aslinya hanya karena pertemuan yang tidak disengajakan.

"Lo itu cewek yang baik." Alken menatapku lekat.

"Cuman baik, iya. Gua enggak sepinter lo dan Sekar yang bisa menangin olimpiade antar sekolah."

"Kalo engga ada orang tolol, juga engga bakal ada orang pinter."

"Jadi, lo pinter karena ada orang tolol?"

"Berterima kasihlah pada orang tolol."

"Lo nyindir gua gitu ya?"

"Niatnya tuh mau menjeleki diri gua. Tapi kok malah jadi nyindir elo ya?" Alken tertawa.

"Iya deh iya."

"Semua manusia itu punya kekurangan dan kelebihan. Enggak semua manusia itu akan hidup sengsara selamanya. Dan enggak semua manusia itu akan hidup bahagia selamanya. Jadi, semua manusia itu derajatnya akan selalu sama..."

"...Hanya saja, tak banyak manusia yang mau merelakan sedikit detik lebih lama untuk ber-proses, untuk berani melangkahi sesuatu yang teramat dicintai, untuk berpindah dari satu pijakan ke pijakan lain yang terasa begitu asing bagi mereka."

Aku diam terpanah dengan ucapan-ucapannya. Aku memandang matanya lekat selama dia berbicara. Ada sesuatu di matanya yang entah apa. Sesuatu yang belum aku tahu bentuknya. Mata coklat bening itu, menghanyutkan.

●●●

Take a ShineWhere stories live. Discover now