Wattpad Original
There are 6 more free parts

09 - Prove It

88K 5.7K 164
                                    

"Kenapa semakin sepi?" tanya Aspen sambil melihat ke belakang di mana jalanan begitu gelap dan tidak ada satu pun kendaraan.

Walter melirik ke belakang juga, dia memamerkan seringainya lalu membuang rokok.

"Berarti kita hampir sampai."

Aspen menatapnya curiga.

"Apa? Aku sudah janji pada Brenda, kan?"

"Kadang-kadang, cowok melanggar janji."

"Aku bukan cowok, aku pria, Baby."

Aspen tidak menjawab, tidak perlu bilang apa pun soal janji ayahnya dulu yang berengsek. Lagipula Walter bukan ayahnya.

Sementara itu, Aspen mengeratkan pelukan pada jaket.

"Apa itu jembatan?"

"Ya."

"Eww... aku tidak kenal tempat ini." Ujar Aspen sambil menatap lekat-lekat keluar.

"Seminggu lalu aku mengadakan pesta bebas di sini." Walter memperlambat lanju mobil sampai tiba pinggir jalan.

"Oke? Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Aspen.

"Aku tidak tahu. Mungkin karena di sini sepi dan cocok untuk mengosongkan pikiran."

Walter mematikan mesin mobil jadi semuanya benar-benar gelap kecuali cahaya oleh bulan separo.

"Kenapa aku harus mengosongkan pikiran?" protes Aspen.

"Itu bukan kau, itu aku." Sanggah Walter.

Dia menurunkan punggung jok sehingga dia bisa berbaring dan menutup mata.

Aspen bergerak tidak nyaman, dia memilih melihat keluar.

"Kalau begitu kenapa kau harus mengosongkan pikiran?"

"Karena aku tidak tidur tiga hari tiga malam menunggu perempuan asing menelepon. Lain kali aku akan meminta nomor teleponnya duluan."

Aspen tersenyum kecil. "Dia bisa saja menipumu."

"Ya, benar. Lagipula aku sudah ditipu."

"Maaf," gumam Aspen. "Tadinya aku pikir aku memang akan tinggal di rumahmu."

"Lalu kenapa tidak?"

"Aku menelepon Brenda. Selama aku bisa ditolong temanku kenapa aku harus minta tolong padamu?"

"Karena aku ingin."

Aspen memutar matanya. "Kau aneh, tahu."

"Dan kau merah."

Aspen menatap tajam Walter. "Apanya yang merah?"

Walter tetap menutup mata, sekarang tangannya digunakan sebagai bantalan kepalanya. "Menurutmu apa yang merah darimu?"

"Rambutku. Kenapa? Apa kau buta warna?"

"Tidak. Alih-alih aku peka terhadap warna, terutama merah, seolah-olah mereka ada dimana-mana." Walter menyeringai. "Kenapa kita tidak membuat judul komik 'Red Is The Hottest Color'?"

"Kau baca komik itu?" protes Aspen.

"Komik apa?"

"Blue Is The Warmest Color?"

Walter mendenguskan tawa. "Tidak. Aku tidak mau terpengaruh jadi gay. Kau sendiri?"

"Temanku punya itu. Versi Perancis-nya. Dan aku mengapresiasi, Julie Maroh adalah ilustrator hebat."

Walter membuka matanya dan memperhatikan Aspen sambil mengernyit. "Apa kau... LGBT?"

"Apa?!" pekik Aspen. "Apa kau gila?!"

The Bad Boy Saw Me TwerkWhere stories live. Discover now