Luka Abadi

153 30 4
                                    

Aku menyukai bagaimana pun wajah hari. Sebab Tuhan melukiskannya dengan tujuan masing-masing. Meski aku memiliki rasa suka berlebih terhadap kabut. Entahlah. Aku menyukai cuaca yang justru tak disenangi banyak orang. Menurut mereka, kabut selalu mengutus hawa dingin berlebih, serta membatasi pandangan. Ada sisi lain dalam kabut yang kusuka, kuuraikan dengan cara tersendiri. Bagiku, kabut mengandung jutaan partikel warna yang memancar dari rasa kecewa, kehilangan, pengkhianatan, dan apa pun yang membawa diri bertemankan pilu. Meskipun semuanya bernada sendu, justru di situlah letak alasanku menyukainya. Sebab Tuhan mengutus kabut untuk menutupi semua luka di muka bumi. Termasuk lukaku. Meski hanya sesaat dan akan kembali berdarah ketika kabut berlalu tersapu mentari.

Siapa pun takkan sudi berteman luka, pun denganku. Namun jika ia hadir sebab mengenangmu, selamanya kami akan seperti ini, hancur bersama-sama. Lukaku keabadian, yang tak ditakdirkan berjodoh dengan penawar mana pun. Sebab kau adalah cahaya, sedang aku hanya bayangan yang selalu ada ke mana pun kau memancar. Meski tak pernah diindahkan.

Makassar, 20 Maret 2017

Serangkum RasaWhere stories live. Discover now