lima

79.8K 11.4K 1.2K
                                    

Sebenarnya, tentang Gio yang tidak mengetahui eksistensi Aga itu adalah hal yang tidak benar. Itu cuma Aga yang terlalu mendramatisir. Mereka seangkatan. Walaupun nggak saling kenal, tapi Gio pernah melihat Aga.

Di mata Gio, dia adalah seorang pemuda yang menarik. Dia laki-laki, tapi memiliki wajah yang cantik dan tampan. Androgini istilahnya. Wajahnya selalu datar dan dingin. Setiap kali Gio melihatnya, pemuda itu selalu sendirian. Nggak selalu juga sih, terkadang dia melihatnya bersama seorang pemuda lain. Andrew kalo nggak salah namanya. Tapi cuma dia. Hanya Andrew. Pemuda itu nggak bersosialisasi dengan yang lainnya lagi.

Tapi, saat itu Gio nggak punya waktu untuk ngurusin cowok yang bahkan dia nggak kenal. Gio terlalu sibuk dengan pacar dan teman se-genk nya. Sibuk dengan popularitasnya. Jadi, Gio nggak terlalu ambil pusing terhadap pemuda itu.

Awalnya sih gitu.

Tapi, saat pertengahan semester satu di kelas dua, ketenangan Gio terusik pas sadar bahwa si pemuda itu selalu duduk di bangku panjang yang terletak nggak jauh dari lapangan basket tiap kali klub mereka latihan.

Angin selalu membelai lembut rambut sehitam arang milik pemuda itu. Membuatnya tampak mempesona. Gio bahkan bisa ngeliat beberapa cewek di sekitarnya menatap si pemuda dengan mupeng. Tapi sayang, pemuda itu terlalu nggak peka.

"Itu siapa sih?" Gio nggak bisa nahan rasa penasarannya lagi. Dia bertanya pada Putra dengan dagu yang menunjuk si pemuda.

"Hm? Oh, dia. Namanya Aga. Anak MIPA 1." Jawab Putra sambil mendribble bola basket, lalu mengangkat bola itu ke atas dan melakukan shoot dari tengah lapangan. Meleset. Putra mengumpat.

"Kenapa dia selalu duduk di situ tiap kali kita latihan? Pengen masuk klub tapi ngga bisa ya?" Tanya Gio. Putra tertawa.

"Enggaklah, bego. Dia memang selalu duduk di situ tiap kali istirahat pertama. Mau ada latihan basket ataupun enggak, dia emang selalu duduk di situ." Ujar Putra menjelaskan. Oh ya? Gio baru tau. Gio nggak pernah sadar kalo ada yang suka duduk di situ. Dia terlalu sibuk dengan pacarnya yang selalu cari perhatian tiap kali istirahat dan ngga ada latihan basket.

Manik jatinya kembali menatap pemuda bernama Aga yang kini tengah berbicara dengan Andrew. Ia diam sejenak, lalu memutuskan untuk mengabaikan kedua orang itu.

Tanpa sadar, tiap kali ada kesempatan, Gio selalu menatap Aga. Aga benar-benar sendirian jika Andrew nggak ada. Ngebuat Gio bertanya-tanya, apa dia nggak kesepian? Gio benci sendiri. Maka dari itu, sebisa mungkin dia selalu bersama teman-temannya atau pacarnya.

Bullshit kalo ngomong nggak ada yang mau deketin Aga. Banyak yang pengen berteman sama dia. Cuma, ngeliat respon Aga yang dingin ngebuat orang lain segan. Ngebuat mereka berpikir mungkin Aga memang lebih suka sendirian. Satu-satunya orang yang bisa deket dengan Aga cuma Andrew. Cuma dia yang bisa ngebuat Aga bicara terus menerus. Cuma dia yang bisa ngerangkul bahu Aga dengan akrab. Cuma dia yang bisa ngacak rambut Aga hingga berantakan. Cuma dia yang bisa nyentuh Aga sesuka hatinya. Cuma Andrew.

Tiap kali ngeliat Andrew, ngebuat Gio ngedengus iri. Dia juga pengen berteman dengan Aga. Dia nggak suka ngeliat orang yang selalu sendirian. Gio tau rasanya nggak enak kalo sendiri. Tapi, dia nggak bisa. Dia nggak tau gimana caranya untuk bisa bicara dengan Aga. Biarpun dia friendly, tapi dia nggak sesupel itu.

Jadi, Gio cuma bisa ngeliat Aga dari jauh.

Rasanya sedikit menyedihkan buat Gio disaat dia sadar, tiap kali dia bersenang-senang dengan teman-temannya, Aga cuma bisa diam sendirian. Oh ayolah, Andrew nggak mungkin bisa dua puluh empat jam selalu di samping Aga, kan?

Selain suka duduk di bangku panjang di bawah pohon deket lapangan basket, tiap kali istirahat kedua Aga selalu pergi ke perpustakaan. Gio baru menyadarinya akhir-akhir ini. Dia juga baru tau kalo Aga termasuk anggota perpustakaan. Apa pemuda itu sebegitu sukanya dengan buku?

"Tugasnya paling telat dikumpulin pulang sekolah, ngerti?"

"Iya bu!!"

Gio mengerjap. Bel istirahat kedua sudah berbunyi rupanya. Dia natap buku tugasnya yang baru nyelesaiin tugas sampe soal keempat dari sepuluh soal. Pelajaran sosiologi. Ugh.

Dengan cepat, Gio menutup buku tugas dan buku paketnya. Lalu, menatap Putra yang sedang menulis dengan tenang.

"Gue harus pergi! Menurut lo, di mana tempat paling tenang yang bisa gue tuju untuk ngerjain tugas sialan ini?" Ujar Gio.

"Hah? Memangnya kenapa? Kerjain di sini kan bisa?"

Gio menggeleng mantap.

"Ngga bisa! Buruan! Ntar si Cindy keburu ke mari! Kalo dia ke sini, pasti dia nempel-nempel mulu. Risih!" Gerutu Gio. Putra ketawa.

"Lo sih, macarin cabe! Gitu kan jadinya! Ke perpus sana! Setau gue sih, perpus itu selalu sepi." Ujar Putra.

"Oke! Thanks! Jangan bilang-bilang Cindy kalo gue ke sana!"

Gio beranjak dengan cepat, lalu berlari menuju tangga lantai tiga. Melihat situasi yang aman karena nggak ada tanda-tanda bahwa pacarnya yang menyebalkan itu akan muncul. Dengan segera, Gio naik ke atas.

Ia menghela nafas lega saat sampai di perpustakaan. Tersenyum singkat pada penjaga perpus, lalu berjalan masuk menuju meja baca. Di sini ada delapan meja dengan masing masing memiliki empat kursi. Gio nggak tau untuk apa meja sebanyak itu.

Begitu sampai, Gio terdiam. Aga beneran ada di sini. Di meja paling tepi dekat jendela. Sendirian. Gio menatap ke meja di depannya yang berjarak dua meja dengan milik Aga. Tangannya sudah bersiap untuk menarik kursinya, tapi dia melirik ke arah Aga lagi.

Sendirian itu menyedihkan...

Gio menghela nafas. Kakinya melangkah dan berhenti di depan Aga. Kursi di depannya ia tarik, lalu duduk di sana. Ia langsung membuka buku tugas dan buku paketnya. Lalu, lanjut mengerjakan tugasnya walaupun dia tau Aga tengah menatapnya sekarang. Dalam hati, Gio merutuki dirinya sendiri. Dia pasti mengganggu ketenangan Aga sekarang. Tapi mau bagaimana lagi? Seenggaknya mereka berdua nggak duduk sendirian sekarang.

Gio menggigit pipi bagian dalamnya. Manik jatinya melirik Aga perlahan. Aga benar-benar mempesona jika dilihat dari dekat.

Ugh, Gio tidak percaya ini.

Orang yang selama beberapa bulan terakhir ia kagumi secara diam-diam, ada di depannya sekarang. Duduk dengan tenang. Bahkan jarak mereka tidak lebih dari satu meter.

Gio bingung.

Kenapa rasanya bisa semenyenangkan ini?

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang