lima belas

69.6K 9.4K 361
                                    

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Mereka naik ke kelas tiga. Kurang dari sembilan bulan lagi, mereka sudah akan lulus.

Aga meyakinkan dirinya sendiri untuk mencoba tidak menghiraukan Gio. Ia harus bertahan untuk delapan bulan. Itu seharusnya bukan apa-apa, mengingat dirinya saja tidak pernah dinotice selama hampir dua tahun penuh. Jadi, anggap saja Gio tidak pernah menyapanya. Anggap saja dia berbicara sendiri waktu itu.

Sementara di sisi Gio, pemuda itu khawatir. Waktunya semakin menipis. Dia harus segera membuat Aga menjadi miliknya. Delapan bulan pasti akan terlalui tanpa terasa. Jika dia nggak bisa melakukannya hingga mereka lulus, Gio nggak yakin peluangnya akan besar seperti sekarang. Dia saja tidak tau Aga mau masuk universitas mana. Jika universitas mereka berbeda, alamat lah sudah.

Kini mereka bertukar peran.

Sekarang Gio yang menyodorkan cintanya dengan suka rela. Menatapnya dengan penuh puja dan meneriakkan kata 'jadilah milikku!'.

Namun, sekarang, Aga pula yang berbalik memunggunginya. Lelah karena terus mengejar. Menutup kedua telinga dan mulai mencari orang lain yang bisa ia 'singgahi'.

Tidak ada lagi Aga yang menyodorkan cintanya dengan malu-malu.

Tidak ada pula, Gio yang bisa membuang cinta itu seperti sampah sesuka hatinya.

Mereka saling cinta, tapi saling menyakiti.

Salah Aga yang dulu tak berani menyentuh Gio dan menjejalkan cintanya pada pemuda itu.

Salah Gio pula yang menarik cintanya kembali, saat pertama kali Aga ingin mengambilnya. Membuat Aga merasa dipermainkan.

Cinta begitu rumit, bukan?

"Gue bosan tiga tahun sekelas sama lo mulu." Gerutu Aga pada Andrew yang sedang duduk manis sambil makan pocky di sebelahnya.

"Seharusnya lo bersyukur bisa sekelas sama manusia paling ganteng sedunia."

Aga menatap illfeel, "Geli gue. Najis banget omongan lo!"

Andrew mengabaikan perkataan itu. Ia tersenyum jahil.

"Gimana rasanya ketemu sama Gio setelah sekian lama?"

Aga berdecih. Otaknya secara otomatis memutar ingatan tadi pagi, saat ia tak sengaja bertatap muka dengan si makhluk buruk rupa di parkiran.

"Biasa aja." Ketus Aga. Andrew tertawa.

"Lo nggak ngeliat sih ekspresinya pas lo ngelengos gitu aja di depan mukanya." Ujar Andrew sambil tertawa pelan. Dia bisa melihat itu. Gio kecewa. Sama seperti ekspresi Aga yang selalu diabaikan oleh pemuda itu dulu.

"Selucu itu ekspresinya?"

Andrew mengangguk, "Yah, selucu itu, sampe mungkin lo bakalan berubah pikiran dan balik ngejar si Gio lagi, kalo lo ngeliat."

Aga memutar kedua matanya malas.

"Kaki gue pegal ngejar orang mulu. Mending gue nyari orang yang nggak perlu dikejar."

"Ckckck." Andrew menggelengkan kepalanya dengan telunjuk yang bergerak ke kiri dan ke kanan di depan wajah Aga.

"Yang seru dari cerita percintaan itu perjuangannya. Kalo lo nggak berjuang, nggak asik." Ujar Andrew. Aga mendesah malas.

"Tapi kalo berjuang mulu nggak ada hasilnya, kan namanya tolol." Gerutu Aga. Andrew kembali menggerakan telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

"Usaha itu tidak akan pernah menghianati hasil. Mereka itu sepaket. Kalo lo berusaha sekuat tenaga lo, maka hasilnya akan bagus." Nasehat Andrew. Aga menggerutu.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang