tiga puluh delapan

90.3K 7.9K 2K
                                    

Words : 4903
__________________________________

Seperti yang sudah Gio duga, kepergiannya tadi malam itu diketahui oleh sang Papa.

Di sinilah dia akhirnya, duduk sendirian di hadapan semua anggota keluarganya seolah-olah ia sudah melakukan kejahatan yang sangat besar.

Papanya menatap tajam. Gino duduk di sampingnya dengan pipi kanan yang merah akibat tamparan. Gio tau itu pasti sakit sekali.

Papanya mendesah gusar. Memijit pelipisnya yang kini terasa sakit. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan anak-anaknya. Yang satu mencintai lelaki, satunya lagi malah membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Apa mereka sudah gila?!

"Papa benar-benar nggak ngerti lagi sama kalian. Sebenarnya apa sih yang kalian pikirin?! Apa bagusnya laki-laki itu?!" seru sang Papa marah.

"Tapi, Gio cinta dia..." lirih Gio.

Tatapan mata itu semakin tajam, "Cinta...? Kamu bilang itu cinta? Kamu itu masih SMA! Masih dalam masa pencarian jati diri! Labil! Jangan cuma karena kamu ngerasa nyaman dengan dia, terus kamu asumsikan kalo kamu cinta sama dia!"

"Terus, kalo ini bukan cinta, jadi perasaan ini namanya apa?!" seru Gio kesal, "Jantung Gio juga berdebar kencang kalo sama dia, Pa! Gio bahagia kalo ngeliat dia bahagia! Gio nggak cuma ngerasa nyaman! Perasaan yang nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata! Kak Gia! Kakak juga ngerasain itu juga kan ke Mas Windu?!"

Gia tersentak, dan menunduk.

"Jangankan Kak Gia, Papa juga ngerasain itu juga kan ke Mama?"

"Perasaan kamu itu cuma sementara! Yang kamu rasain bukan cin-"

"Jadi, kalo yang ngerasain perasaan ini adalah pasangan sesama jenis, namanya bukan cinta? Tapi, labil atau apalah itu? Iya?! Sementara kalo yang ngerasainnya pasangan straight, itu baru namanya cinta?" tanya Gio emosi. Ia menatap keluarganya itu dengan tatapan kecewa, "Lihat betapa nggak adilnya kalian," bisiknya geram.

Gio menatap wajah anggota keluarganya satu persatu. Lalu, menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Dia benar-benar kecewa. Lalu, ia pun memutuskan untuk beranjak dan melangkah menuju tangga.

"Papa belum selesai sama kamu."

"Dengar," Gio berbalik dan menatap mereka lagi, "Kalo kalian segitunya ngerasa menjadi 'normal' itu adalah hal yang paling membanggakan di dunia ini, kalian juga harus ingat. Kalian nggak bakal bisa jadi 'normal' tanpa adanya orang seperti kami. Dan kalo Papa segitunya malu punya anak homo kayak Gio,"

Mamanya sontak berdiri dan menatap anak bungsunya itu dengan takut, "Gio!"

"Mending Gio pergi dari sini, Pa. Anggap aja anak Papa cuma empat. Anak bungsu Papa udah mati. Simpel kan?"

Dan ia kembali beranjak menuju kamarnya yang berada di atas. Mencoba untuk menulikan pendengarannya dari isak tangis Mamanya yang menyakiti hatinya itu.

Gema mendesah gusar dan mengacak rambutnya frustrasi. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Kenapa Gio tidak menyerah saja sih?

Gandhi beranjak dari duduknya, dan memutuskan untuk menyusul Gio. Dia rasa, hanya dirinya yang masih bisa berpikir jernih saat ini. Ia membuka pintu kamar Gio dan mendapati pemuda itu tengah sibuk membereskan baju-bajunya.

"Dek, kamu nggak harus ngelakuin ini," gumam Gandhi.

"Ya, Gio harus."

Tubuh tingginya ia sandarkan di ambang pintu dan bersedekap dada, "Jadi, kamu lebih milih dia daripada keluarga kamu?"

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang