tiga puluh satu

59.7K 7.9K 489
                                    

Keheningan terjadi diantara mereka setelah Gio memberikan apa yang Rafael mau. Si pemuda tinggi itu melirik pria di sebelahnya.

"Kenapa Om mau bantu Aga? Nggak mungkin cuma karena kasihan kan?" tanya Gio.

Rafael menatapnya dan tersenyum sendu. Lalu, beralih menatap ke arah depan.

"Karena setiap kali ngeliat wajah Aga, Om jadi ingat anak Om di rumah. Mereka sama. Cuma ya, bedanya kalo anak Om, Mamanya yang bermasalah dengan dia. Dan bedanya lagi, tentu aja anak Om lebih imut gitu, lebih unyu, manis, menggemaskan. Apalagi kalo dia lagi mau sesuatu dan manggil 'Papa~'. Ugh, manisnyaa.."

Rafael menangkup kedua tangannya ke pipi sendiri. Mengingat anak bungsunya yang begitu menggemaskan seperti anak kucing yang minta dimanja itu, selalu sukses membuat moodnya naik ke tingkat paling tinggi.

Oke. Gio mulai mengerutkan dahinya dan menatap Rafael aneh.

"Err... Udah kan, Om? Saya mau pulang," ujar Gio sambil beringsut menjauh.

"Oh, iya! Sudah! Makasih ya, Gio!"

Gio hanya tersenyum paksa, dan segera keluar dari dalam mobil Rafael.

Di luar, ia menghembuskan napas pelan dan mengelus dadanya penuh syukur.

Untung Bokap gue nggak begitu...
__________________________________

Keesokan harinya, saat istirahat, Putra datang dari kantin dengan membawa kabar yang lumayan serius.

Aga dipanggil ke ruang BK.

Masalah absensi katanya, dan dia tidak boleh mengikuti jam pelajaran sampai orang tua atau walinya datang menghadap.

"Terus gimana?" tanya Gio.

Putra mengangkat kedua bahunya, "Katanya sih Bu Kiki udah nelfon bokapnya dari tadi, cuma orangnya nggak dateng-dateng, tapi nggak tau juga gue."

Gio segera beranjak. Berlari turun menuju ruang BK yang terletak di lantai 2. Di depan pintu ruangan tersebut, bisa ia lihat Aga yang sedang berbicara serius dengan Andrew.

Pemuda tinggi itu semakin mempercepat langkah kakinya.

"Aga!"

".....kasi tau gue—" Kepala cantik itu menoleh. Lalu, mendengus pelan dan menatap ke arah lain.

"Ada perlu apa, Yo?" Andrew yang bertanya padanya.

"Katanya lo nggak boleh masuk kelas sebelum wali atau orang tua lo dateng? Terus gimana? Mau gue panggilin Nyokap gue sebagai wali lo?" Gio mengabaikan keberadaan pemuda tampan itu, dan tetap bertanya pada kekasih cantiknya.

Aga langsung menoleh. Kedua alisnya menukik kesal, "Nggak usah! Ngapain?! Gue bisa urus sendiri!"

Alis Gio mengerut, "Kok marah?"

Bibir merah itu berdecak. Tangan kanannya mengusak kasar rambut sekelam malam yang tadi tersusun rapi di kepalanya.

"Enggak."

Apa menurut kalian Gio akan percaya? Oh, tentu saja tidak. Maka dari itu, ia langsung menggenggam pergelangan tangan kiri pacarnya tadi, namun langsung ditepis oleh yang punya.

"Apa sih, Yo?!"

"Lo kenapa sih?! Lo marah kenapa?!"

"Gue nggak marah!"

Gio ngotot menggenggam pergelangan tangan Aga. Kali ini lebih kuat.

Aga meringis sakit dan mencoba untuk melepaskan genggaman itu.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang