delapan belas

66.5K 8.9K 223
                                    

Chapter ini aku persembahkan untuk saudara tertua nomor dua yang sedang berulang tahun hari ini.

Biarpun dia nggak bakal baca sih lol:v
______________________________________

Aga sudah cukup stress karena kematian Bundanya beberapa waktu yang lalu. Wanita yang paling ia cintai sudah pergi meninggalkannya. Aga mulai gila pada awalnya.

Tidak, tidak! Dia tidak mencoba untuk bunuh diri. Itu tindakan yang terlalu gila. Aga hanya mulai gila, bukan terlalu gila. Lagipula, Aga bukan orang bodoh yang akan mengakhiri hidupnya begitu saja. Dia masih memiliki Andrew, itu pikirnya.

Dua minggu ia mengurung diri di rumah. Ponselnya sudah mati sejak hari kedua ia pergi ke Amerika beberapa waktu lalu, dan hingga sekarang, saat ia sudah kembali ke Indonesia, ponsel itu belum ia charge. Aga terlalu malas untuk bergerak. Padahal ia tidak melakukan aktivitas apapun, tapi ia merasa lelah. Tubuhnya tak beranjak dari tempat tidur sama sekali, kecuali karena panggilan alam atau karena perutnya yang sudah kelaparan karena tidak diberi asupan selama dua hari atau lebih.

Aga tidak merasa lapar. Dia hanya ingin terus berbaring dan tidur. Bahkan, seluruh gorden rumahnya tidak ia buka sama sekali selama dua minggu ini. Dia sudah lelah menangis saat di Amerika kemarin. Dia ingin terus tidur tapi dia tidak bisa tidur. Menyebalkan sekali, bukan? Bahkan hingga tengah malam, atau hingga esok hari, matanya yang lelah tidak juga terpejam.

'Brak!' 'Brak!' 'Brak!'

"AGAAA!!"

'Brak!' 'Brak!' 'Brak!'

Aga sangat mengenal suara itu. Itu adalah teriakan Andrew. Dia mengerang malas, lalu menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Tidak peduli pada pintu rumahnya yang sedang digedor dengan buas oleh sahabatnya tadi.

'Brak!'

Aga menggerutu. Pintunya akan rusak jika digedor dengan tak berperasaan seperti itu. Jika sungguh rusak, maka Aga akan meminta Andrew untuk menggantinya dengan pintu yang berkali-kali lipat lebih bagus dan lebih mahal. Lihat saja!

Tapi, tiba-tiba, suara ribut itu menghilang. Dahi Aga mengernyit dan kepalanya menyembul dari balik selimut. Apa semudah itu Andrew akan menyerah? Bukankah —

'GUBRAK!' 'BRUK!'

Mata Aga melotot ngeri saat mendengar suaranya. Tanpa peduli pada tubuhnya yang semula tidak ingin bergerak, ia berlari menuju pintu depan rumahnya.

Mulut Aga terbuka. Andrew berdiri di ambang pintu dengan napas terengah. Pintu rumahnya sudah tergeletak mengenaskan di lantai. Lalu, dengan kasar, Andrew menginjak pintu itu dan menatapnya marah.

Tunggu! Kenapa malah Andrew yang marah?! Seharusnya Aga yang memperlihatkan ekspresi itu! Andrew yang merusak pintunya!

"Kemana aja lo, setan!" Seru Andrew, "Kenapa nggak bisa gue hubungin?! Ponsel lo itu gunanya untuk apa, hah?! Brengsek! Lo kira enak, ditinggal tanpa dikasi kabar begitu?!"

Aga mengerjap. Wajah Andrew memerah karena emosi. Dari balik tubuh Andrew, bisa ia lihat beberapa tetangga mengintip ke arah rumahnya. Ugh, pasti karena teriakan Andrew tadi dan dobrakan pintunya.

"Tsk! Buruan masuk!" Gerutu Aga. Tangannya menarik lengan Andrew dan membawanya ke ruang tengah yang gelap.

"Ya Tuhan, lo di sini ngapain aja sih, Ga?! Bertapa?" Andrew melepas tangan Aga dari lengannya dan segera membuka gorden di ruangan itu. Membiarkan sinar sore matahari itu memasuki ruangan yang semula gelap tadi.

Aga menghempaskan tubuhnya ke sofa terdekat, lalu segera berbaring. Ia lelah. Ia ingin tidur. Kemarin dia sudah tidak tidur, jadi sekarang dia ingin tidur sepuasnya.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang