sepuluh

73.2K 10.2K 2.3K
                                    

Apa?

Aga mengerjap.

Gio tadi bilang apa?

Suka?

"T-tunggu! Bukan! Maksud gue.."

Jadi perasaannya terbalas selama ini?

Jadi dia nggak bertepuk sebelah tangan?

Gio suka dengannya?

Aga hampir tersenyum lebar dan mengatakan perasaannya juga.

Hampir.

"Maksud gue, gue suka sama baju lo! Bukan sama lo nya!"

'Prang!'

"Haha, sori. Lagian kita berdua kan cowok, jadi nggak mungkin gue suka sama lo. Sori, gue salah ngomong. Lo beli bajunya di mana? Bagus loh!"

Aga patah hati.

Hatinya hancur.

Aga berdarah.

Serpihan hatinya kali ini jauh lebih kecil dari biasanya.

Aga nggak yakin dia mampu untuk menyusunnya lagi seperti biasa.

Gio menggigit bibir bawahnya. Tampak takut dengan respon Aga yang diam. Genggamannya dilepas paksa. Aga menarik tangannya sendiri. Gio menatapnya dengan perasaan campur aduk.

"Baju ini... dibeliin Andrew. Lo tanya Andrew aja."

Tatapan Aga beralih ke luar kafe. Kosong. Seharusnya dia tau, Gio nggak mungkin suka dengannya. Seharusnya semua harapannya sudah ia buang, tapi kenapa tadi harapan itu ada yang mucul?! Kenapa harapannya malah melunjak?! Hanya karena Gio mengajaknya bicara, hanya karena Gio mengajaknya berkenalan, hanya karena Gio mengirimnya pesan, hanya karena Gio menemuinya, bukan berarti Gio memiliki perasaan yang sama dengannya! Lihat? Inilah akibatnya karena dia melanggar apa yang ia batasi!

Aga nggak seharusnya melewati batas sejauh ini!

Aga seharusnya tetap diam di tempat dan tetap menatap Gio dari jauh.

Aga seharusnya sadar diri seperti biasa.

Ini akibatnya.

Aga menghela nafas. Matanya panas. Dia bahkan sudah ditolak dengan kejam sebelum dia menyatakan perasaannya.

Menyedihkan sekali ya.

Aga menelan ludah. Dia menunduk dan berdiri. Tangannya merogoh sakunya untuk megambil dompet, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang.

"Gue lupa, gue ada janji sama Andrew. Kita lanjutin lain kali aja ya." Ujarnya pelan. Tanpa menatap wajah kalut Gio, Aga segera pergi dari sana.

Gio mencelos. Dia nggak sanggup buat berdiri. Dia ngelakuin kesalahan.

Seharusnya gue nggak nyatain perasaan gue! Aga pergi. Dia pasti jijik sama gue! Batin Gio. Tangannya terkepal.

"Gue nggak mau ini berakhir gitu aja. Gue baru aja mulai buat ngedeketin dia!" Gumam Gio. Perasaannya campur aduk. Dia kalut.

"Aga.."

Sementara Aga, dia melajukan motornya ke apartemen Andrew. Dia butuh sahabatnya itu. Setetes air mata mulai menuruni wajahnya. Dadanya sesak. Aga mempercepat laju motornya dan puji tuhan, dia sampai dengan selamat di gedung apartemen Andrew. Nggak ada drama-drama kecelakaan seperti di novel-novel atau di sinetron-sinetron di tv.

Aga melangkah lunglai. Tubuhnya lemas. Dia ingin menjatuhkan tubuhnya, tapi ini bukan saat yang tepat. Dia menaiki lift, lalu memencet tombol nomor 8. Aga hampir gila karena harus menunggu sampai di lantai tujuannya.

Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Andrew berdiri di depannya. Ingin memasuki lift. Wajahnya terlihat kaget saat melihat Aga.

"Ga?"

Aga melangkah, tangannya mencengkram baju Andrew. Dia akan jatuh kalau saja Andrew tidak memegangnya.

"Gue selesai Ann, gue selesai." Racaunya.

Andrew menatapnya khawatir.

"Kenapa? Apanya yang selesai? Lo kenapa?" Tanyanya.

"Gue selesai. Gue nyerah."

Andrew terdiam. Aga menatapnya dengan tatapan terluka.

"Gue nggak bakalan bisa ngegapai Gio. Gue nyerah."
______________________________________

Aga benar-benar patah kali ini. Andrew tau. Sejak mereka masuk ke dalam apartemennya, Aga nggak ngebuka mulutnya sama sekali. Dia cuma duduk diam di sofa. Melamun. Andrew hanya mengawasinya. Kalo Aga nggak mau cerita, Andrew nggak bakal maksa. Nanti juga Aga bakalan cerita dengan sendirinya.

"Lo nginep di sini aja ya." Ujar Andrew. Dia khawatir kalo harus ngebiarin Aga pulang. Lagian, Aga juga tinggal sendirian di rumahnya. Jadi nggak masalah. Tangannya mengusap rambut Aga pelan, lalu memeluknya.

"Dasar cengeng." Lirih Andrew. Aga mendongak menatapnya.

"Gue nggak nangis."

"Tapi di mata gue lo lagi nangis ngeraung-raung."

Aga diam. Dia mutusin buat balas meluk Andrew dan menyembunyikan wajahnya di dada Andrew.

"Ann.." panggilnya pelan.

"Hm?"

"Ayo pacaran!"

Andrew terkekeh pelan, "Lo tau benar gue nggak bakal bisa macarin lo."

"Liza lagi di luar negeri! Lo selingkuh aja sama gue!"

"Nggak bisa, bocah! Lo lupa? Liza itu kan nyokap lo! Berarti gue ini bokap lo, masa lo mau sama bokap lo sendiri?"

"Cuma karena namanya sama dengan nyokap gue, bukan berarti dia nyokap gue kan? Lagian umur kita sama."

Andrew terkekeh lagi. Kalo Liza —tunangannya— mendengar ini, dia pasti sedang asik menggerutu sekarang. Entah apa yang salah dengan otaknya itu karena dia selalu menyuruh Aga untuk memanggilnya 'Bunda' hanya karena namanya sama dengan Bundanya Aga.

"Lo laper nggak?" Tanya Andrew. Aga mengangguk.

"Oke, mau makan apa? Gue beliin."

"Apa aja."

"Yaudah, lo mandi sana! Dinginkan pikiran lo! Kalo lo mau nangis beneran juga nggak masalah. Gue pergi beliin makanan lo dulu. Ntar baru kita jalan-jalan, oke?"

Aga mengangguk. Andrew menepuk kepalanya pelan, lalu mengambil kunci motor Aga dan pergi. Aga menghela nafas dan beranjak ke kamar mandi Andrew.

Jatuh cinta diam-diam itu menyakitkan rasanya. Apalagi saat kau sadar bahwa orang itu tidak akan bisa kau raih. Benar-benar menyedihkan.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang