#9

595 77 5
                                    

[ year 17]

anin

i used to like family gathering.

dulu, kumpul satu keluarga besar ada momen yang paling gue tunggu setiap dua bulan sekali. dimana gue bisa main sepuasnya dengan sepupu-sepupu gue, menjadikan segala macam imajinasi yang ada didalam pikiran seorang anak berumur sembilan tahun menjadi nyata. mengesampingkan segala macam pekerjaan rumah yang gue dapet dari guru-guru di sekolah, dan bermain, tertawa lepas dengan orang-orang yang gue sebut dengan keluarga.

it was nice. family gathering was always nice until it went wrong.

it became toxic and i didn't feel like to come. it was harder as i got older.

terlebih, ketika lo udah nikah dan di usia pernikahan lo yang kedua tahun lo belum mempunyai anak.

sebenarnya gue dan ogi sama sekali gak merasa ada yang salah dengan ini. baik orang tua gue maupun orang tua suami gue sama sekali gak mempermasalahkan kondisi kami yang sampai sekarang belum bisa memberi mereka seorang atau beberapa orang cucu, yang bisa mereka gendong dan dimanjakan dengan seluruh perhatian yang mereka punya, yang bisa mereka pamerkan pada setiap orang yang mereka kenal.

tapi, ya, Tuhan, tapi kenapa malah bude-bude yang berisik bertanya kenapa sampai saat ini gue dan ogi belum punya momongan. kenapa.

"ini udah tahun keberapa kamu nikah sama mas yogi, mba?" tanya bude gue disuatu arisan keluarga yang sangat ogah gue datengin. andaikan ayah lagi tidak keluar kota dan adek-adek gue tidak ada janji dengan pasangan masing-masing, pasti gue gak bakal menemani mama ke arisan keluarga yang hampir satu tahun gue hindari ini.

gue melirik ogi yang lagi asik ngopi sama pakde-pakde gue sambil megangin salah satu ponakan, "dua, bude."

"udah dua tahun masa belum isi-isi juga sih, mba. gak kasian sama mama kamu, mau gendong-gendong cucu?" kata bude gue yang satunya lagi sambil menggendong cucunya. "adik sepupu kamu yang nikah tahun kemarin aja udah isi lima bulan sekarang. mas yogi juga udah gak sabar gendong anak, kali, mba. dari tadi jagain ponakannya terus."

gue hanya mengeluarkan cengiran sambil mengambil ancang-ancang untuk segera pergi. merasakan hal buruk akan segera terjadi. tapi bude gue terlebih dahulu bersuara menyebabkan gue kembali duduk dan mendengarkan.

"kamu sih, sama mas yogi sama-sama sibuk. kalau terlalu capek juga ngaruh, lho mba. jadi susah punya anaknya." tambah bude gue yang sedang menggendong cucunya. gue hanya mengangguk mengiyakan.

"iya, bude. aku sama yogi emang masih mau asik-asik berduaan dulu, hehehe." kata gue sambil bersiap-siap berdiri. tahu akan kearah mana pembicaraan ini akan bermuara.

"tapi inget lho mba," tutur bude gue yang membuka topik pembicaraan yang tidak mengenakkan ini, "jangan kecapekan kerja. masih ingat kan kamu sama yang terjadi sebelumnya? gak mau terulang lagi kan? cukup sekali kamu ngebuang sia-sia nikmat Tuhan, mba. jangan sampai berkali-kali. gak baik. nanti bukan bayinya aja yang pergi, lho mba. mas yogi bisa aja pergi juga."

sebuah kejadian yang jadi mimpi buruk gue selama beberapa bulan kembali terputar di kepala gue. membuat gue menggigit bibir dan menundukkan kepala, menahan air mata yang tiba-tiba ingin tumpah.

"mba anin," bless mama. bless mama and her perfect timing. "pulang, yuk? ayah udah balik, nih. kasian di rumah sendirian." kata mama sambil mengelus rambut gue.

"aku, anin, sama yogi pamit pulang dulu ya, mba." pamit mama sambil menarik gue berdiri.

"pamit pulang ya, bude." pamit gue tanpa melihat wajah bude-bude gue. terlanjur sakit hati karena mereka dengan mudahnya mengungkit hal yang bahkan ayah, mama ataupun orang tua ogi tidak berani mengungkit.

aku, kamu, bicaraWhere stories live. Discover now