#14.4

407 56 11
                                    

6 years ago.

ogi

Bir akan selalu terasa pahit tidak peduli seberapa sering ia meminum bercangkir-cangkir kopi. Sama dengan kopi, lidahnya sudah berteman dengan rasa pahit yang disuguhkan oleh bir. Mungkin tidak sampai mencandu seperti ia terhadap kopi, tetapi bir selalu menjadi stadium untuk pikirannya berlari.

Pengecut, ia tahu--ketika ia hanya berlari dan tidak menghadapi. Tenggelam dalam lubang untuk mengasihani dirinya sendiri dan tidak ada niatan untuk bangkit lalu membuat dirinya pergi. Karena baginya, pergi adalah melupakan dan ia belum siap--tidak ingin untuk melupakan. Ia masih merasa nyaman tenggelam dalam lubang yang tiada berdasar--yang memudahkan dirinya untuk terus melarikan diri.

there's no good in goodbye, pikirnya. Tidak peduli betapa hangatnya pelukan Anin saat memeluknya. Tidak peduli betapa lembutnya kecupan yang Anin berikan ketika ia mengucapkan selamat tinggal. Keraguan yang terdengar jelas ketika Anin mengucapkan kalau ia mungkin akan kembali masih terus menghantuinya sampai sekarang. Tidak ada yang tertinggal dari selamat tinggal--setidaknya, hatinya tidak lagi tinggal bersamanya dan ikut pergi seiringan dengan Anin yang terlepas dari genggamannya.

Baginya pengakhiran hanyalah sebuah episode dari suatu permulaan. Ia selalu bisa melewatinya dengan mudah, karena hal tersebut sudah ada dari awal ekspetasi yang dibuatnya. Baginya tidak ada yang perlu ditangisi, tidak ada yang perlu disesali--karena memang hal itu akan terus-menerus terjadi seperti roda yang berputar. Tapi untuk kali ini, menurutnya tidak ada yang bisa diakhiri--karena memang tidak permah ada yang dimulai. Meskipun tetap tidak ingin ia tangisi, tetapi penyesalan selalu merambat kedalam hatinya ketika ia dilanda sepi. Penyesalan yang membuatnya untuk membenci.

Ogi tidak menghabiskan harinya untuk merindu, tetapi ia habiskan untuk membenci Anin. Terus-terusan membenarkan perkataan Anin yang menyebut dirinya sendiri pengecut dan egois. Meskipun dalam beberapa titik, mereka sama-sama pengecut dan egois. Sama-sama berlari untuk menyelamatkan diri sendiri. Hanya bedanya ia belum lelah untuk mengelak walaupun terus melarikan diri, sedangkan Anin memutuskan untuk membalikkan badannya dan pergi. Keragu-raguannya dalam membakar dan mematikan hatinya membuat Ogi semakin membencinya--karena keraguan itu menyiksanya. Karena Ogi tidak suka berpegangan pada keraguan, dan kali ini ia memegangnya erat.

Ini akan lebih mudah kalau mereka saling membenci. Ini akan lebih mudah kalau ia membencinya. Ini akan mudah kalau Anin tidak mengatakan kalau ia mungkin akan kembali dan ia tidak terus-terusan menunggunya untuk segera kembali. Ini akan lebih mudah kalau mereka membuatnya menjadi debu, bukan hanya sebagai kayu yang terbelah. Ini akan lebih mudah, kalau ia tidak menjadi pengecut dan membiarkan api mengkonsumsi dan membakar rasa-rasa yang seharusnya tidak pernah ada.

Kaleng-kaleng bir seakan menatapnya dengan pilu--seakan-akan mengasihani keadaannya yang ia sendiri tidak tahu kalau ia akan menjadi berantakan seperti ini. Sedangkan bungkusan-bungkusan kopi hitam instan yang sudah berminggu-minggu tidak ia sentuh seakan-akan mengejeknya--mengejek dirinya yang kacau dan kebingungan, tersesat dan tidak bisa menemukan tempatnya untuk kembali pulang.

Kopi adalah tempat untuknya merindu, sedangkan bir adalah tempat untuknya melarikan diri. Ketika kaleng-kaleng bir yang ada di kamarnya sudah tidak ada yang berisi lagi, pertama kalinya setelah beberapa minggu ia membuat kopi di cangkir yang selalu Anin pakai. Menyisipnya bersama-sama dengan rokok yang entah sudah batang ke berapa ia habiskan. Mungkin ini saatnya untuk berhenti melarikan diri, dan kembali menenggelamkan dirinya dalam rindu yang selalu terasa pahit.

aku, kamu, bicaraWhere stories live. Discover now