2

1.1K 168 47
                                    

Matahari telah melewati kepala, namun Seungcheol masih terpaku dengan kegiatan mencubiti bibir bawahnya. Ia ragu, jika ingin jujur. Joshua Hong, pemuda di sampingnya ini bukanlah pemuda urakan atau menyebalkan seperti bayangan-bayangannya.

Tingkah lakunya sopan dan elegan, lirikan matanya juga bukan kerlingan menggoda. Manik hazel Jisoo juga mirip sekali dengan mendiang ibu Seungcheol, begitu penuh dengan ketulusan. Caranya menulis, hingga menyusun kalimat yang ditujukan Seungcheol sangat jauh berbeda darinya. Begitu berpendidikan. Begitu sopan. Begitu— ah sudah lah.

Memang didikan Dokter Wu tidak pernah main-main.

"Ahh— oke. Lalu— dengan apa aku harus memanggilmu? Shua? Shua-ya? Atau—"

"Soo-ie. Aku ingin kau memanggilku dengan embel-embel itu."

Seungcheol sedikit menyerngit. Soo-ie. Terdengar lucu. Tapi yang membuat Seungcheol tak nyaman adalah bagaimana panggilan berimbuhan -ie itu adalah panggilan yang hanya diperuntukkan untuknya dengan Jeonghan. Oh— dan untuk Yoojung, adik perempuannya.

"Namamu Joshua kan?"

Jisoo mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. Ia kembali menulis dan menyeretnya lagi ke hadapan Seungcheol. "Memang. Tapi nama Koreaku adalah Jisoo. Hong Jisoo."

Sejujurnya, Seungcheol tidak menyangkal jika nama Jisoo sangat cocok dengan wajahnya yang manis rupawan. Jika saja ia tidak dipaksa menikah dengan pemuda manis itu, mungkin ia tak akan keberatan sama sekali menambah adik sesempurna Jisoo.

"Umm— oke."

"Kau terus mengatakan oke."

"Benarkah?"

"Apa ada yang salah?"

Seungcheol ingin sekali berteriak ya sambil meraung-raung di kedai itu. Namun bersyukur wajah polos Jisoo begitu menghangatkan jiwa. Ia berusaha untuk memulai topik tentang takdir aneh mereka, dan siapa tahu nama Jeonghan akan meluncur dengan sukses. "Tidak, hanya saja— pernikahan ini—"

Perkataan Seungcheol seketika terhenti ketika Jisoo kembali menulis dengan terburu-buru dan menyeret kertas itu pada Seungcheol dengan jari telunjuknya. "Ada apa dengan pernikahan kita? Aku kan sudah menerima lamaranmu melalui kakek."

Spontan Seungcheol tersentak kaget. Ia hampir saja terjatuh dari kursinya jika saja tangannya tak berhasil meraih sisi meja. "Hah? La— lamaran?"

Jisoo tak langsung menjawab. Ia menunduk sejenak untuk menulis tanggapannya, lalu menengadah kembali menatap Seungcheol dengan rengutan di dahi pucatnya. Tangannya mendorong kertas ke sekian pada Seungcheol. "Apa aku salah dengar? Apa harus aku yang melamarmu?"

Detik itu Seungcheol tahu jika Jisoo bukan lah pemuda roman picisan.

.

"Ingin pena dan catatan, yeoppo hyung?"

Jisoo baru saja menggandeng lengan besar Seungcheol ketika suara nyaring memanggilnya, dan dengan panggilan yang tidak etis. Kekesalan Jisoo sirna ketika seorang anak berumur kira-kira 7 tahun tengah memikul ransel besar dibelakangnya. Jisoo yakin isinya adalah benda-benda yang ditawarkan anak itu padanya.

Ia meringsut mundur, membuat Seungcheol yang tadinya sibuk manyun ketika mengetahui galeri lukis adalah pilihan kencan pertama mereka, memilih mengikuti Jisoo yang kali ini sudah berjongkok. Menyetarakan tingginya dengan seorang bocah tak dikenal.

Jisoo menunjukkan 2 jarinya. Mengisyaratkan pada anak itu jika ia ingin dua buah dari masing-masing benda yang ditawarkan. Dengan sumringah, anak tersebut melepas ranselnya. Membuka resleting panjang di atas tas dan mengeluarkan dua buah pena berujung kepala kucing dan srigala. Lalu dikeluarkannya juga dua buah catatan kecil yang lebih terlihat sebagai buku saku. "1000 won." Ujarnya riang.

RECORDS -Cheolsoo-Where stories live. Discover now