5

981 148 43
                                    

Keheningan melanda malam yang dijatuhi milyaran tetes hujan itu. Mengiringi rasa tak nyaman di dalam perut Jisoo. Ia masih diam, namun manik cokelatnya masih menatap tak percaya pada pemuda bersurai pirang dihadapannya.

Jeonghan, pemuda yang ditatap Jisoo itu, sangat tahu jika Jisoo ingin sekali bertanya banyak hal tentang apa yang baru saja ia ucapkan. Tapi ia sangsi jika Jisoo memiliki ego yang kuat untuk sekedar bertanya, mungkin dia hanya malas untuk berkomunikasi dengannya.

"Aku mendengar dari Dokter Wu, ketika ia memberikan rekomendasi padaku dan satu dokter lainnya. Ku dengar, Seungcheol melamarmu melaluinya. Wuah— kau sangat beruntung."

Jisoo masih terdiam. Apa berarti kejadian di apartemen siang tadi Jeonghan hanya berpura-pura tak tahu apapun? Jisoo melirik ke arah jeonghan. Ia bisa melihat bagaimana senyum lirih terukir apik di wajah cantik Jeonghan. Pemuda itu menatap langit yang masih menjatuhkan airnya. Jeonghan tertawa dalam hati, mencoba menghibur dirinya jika langit ikut menangis untuknya.

Tak bisa dipungkiri jika Jisoo merasa dadanya berdenyut sakit. Berpikir apakah ia sangat menyakiti Jeonghan? Sebenarnya Jisoo sangat tahu jawabannya, tapi ia mencoba menyangkal. Bagaimana pun, yang ia miliki untuk Seungcheol juga cinta. Cinta yang dapat menyakitinya jika Seungcheol memilih orang lain sebagai pendamping hidup.

"Joshua-ssi, aku tahu kau memahami maksudku dengan baik. Jadi, dengarkan lah, tak perlu melakukan apapun karena ini sangat penting untuk kita berdua— dan Seungcheol." Ujar Jeonghan. Ia mengusap wajahnya sejenak, sebelum menunduk dan memberikan senyum terbaiknya untuk Jisoo.

"Bekerja di Jerman tidak mungkin hanya sebulan, dua bulan. Aku butuh waktu setidaknya setahun sampai dua tahun, dan tidak mungkin Seungcheol senang dengan hal itu." Katanya masih dengan menatap dalam pemuda manis disampingnya. "Karena itu, Joshua-ssi—"

"— aku mempercayakan Seungcheol padamu."

.

Sudah hari ketiga sejak pertemuannya dengan Jisoo, dan sekarang Seungcheol harus kembali menghadap Dokter Wu di ruangannya. Jas dokter masih terpakai rapi pada keduanya, dan Dokter Wu terlihat seolah lebih tertekan dari saat ia memaksa Seungcheol untuk menikahi cucunya.

Tangannya saling terkait di atas pahanya, sedangkan kaki kiri pria tua itu bergetar hebat. Seungcheol bukan psikolog atau psikiater, tapi sepertinya ada sesuatu yang mengganggu calon kakek mertuanya itu.

"Choi Seungcheol." Panggilnya. Seungcheol hanya menegakkan tubuhnya, mengisyaratkan ia siap mendengarkan. "Kau akan menikah dua hari lagi."

"M-mwo?"


Seungcheol tak dapat menahan rasa terkejutnya. Ia tak berteriak atau pun memekik, namun otot-otot di seluruh tubuhnya menegang sempurna. Dua hari lagi? Itu terlalu cepat! Terlalu cepat! Bahkan Jeonghan baru berangkat ke Jerman 5 hari lagi. Apa tidak bisa pernikahannya dilaksanakan setelah kepergian Jeonghan?

Sungguh, Seungcheol ingin sekali mengutuk pria tua di hadapannya itu sekarang. Kenyataan bahwa dirinya akan bersanding dengan pemuda selain Jeonghan saja sudah membuatna mati rasa. Lalu sekarang ia harus membiarkan Jeonghan tahu tentang pernikahannya? Tidak dapat diterima akal!

"Kalian akan menikah diam-diam jika yang kau takutkan Tuan Yoon akan mengetahuinya. Hanya upacara kecil di gereja di atas bukit. Hanya kau, Jisoo, aku, kedua orang tuamu, dan kerabat dekat yang lain."

Seungcheol menunduk. Mencoba memproses kata-kata atasannya yang terdengar begitu menyakitkan. Astaga, jikalau dirinya akan berpisah dengan Jeonghan dan menikah dengan orang lain suatu hari nanti, ia tetap ingin berhubungan baik dengan Jeonghan dan mengundangnya ke pernikahannya.

RECORDS -Cheolsoo-Where stories live. Discover now