9

876 139 42
                                    

Letak rumah Jisoo berada di bagian commuter zone, dimana masyarakatnya berupa pejabat negara atau pembisnis handal. Seungcheol butuh waktu lebih dari setengah jam untuk mengantar Jisoo dari rumah Seokmin yang berada di pusat kota.

Omong-omong tentang Seokmin, Seungcheol tak ingin memikirkan kata-katanya lagi. Sudah cukup ia merasa bersalah ketika menyadari ucapannya telah melukai sosok manis pemuda yang tengah menggambar di sampingnya. Tidak terganggu dengan angin kencang yang bertiup kencang dari jendela mobilnya.

Sejak Seungcheol mengeluarkan kalimat pengecut itu, Jisoo terlihat berusaha menjauhinya. Ia ingat ketika ingin membuka pintu mobil untuk Jisoo, justru istrinya itu malah merebut handle pintunya lebih dahulu. Secara otomatis, menandakan Jisoo menolak perlakuan hangat Seungcheol. "Kau oke?" tanyanya.

Selama beberapa detik, tangan Jisoo berhenti melukiskan garis di atas buku sketsa kecilnya. Ia mengangguk pelan, lalu kembali menggambar. Seungcheol tidak bisa menahan nafasnya yang terasa mencekat di kerongkongan.

Jisoo marah, atau merajuk?

Ini baru pertama kalinya menghadapi Jisoo yang diam. Bukan, biasanya Jisoo juga diam tak bersuara, namun ini benar-benar diam. Tak ada gerakan tubuh yang merespon perkataan Seungcheol dengan hyper seperti Joshua Hong yang dikenalnya. Jika ini Jeonghan, biasanya Seungcheol hanya perlu membawanya jalan-jalan dengan mobilnya, atau sekedar mentraktir Jeonghan pasta bayam di kedai Suga(r).

Tapi Jisoo? Aish. Apa yang Jisoo suka dan tidak saja ia tidak tahu.

"Penghangatnya sudah berfungsi, kenapa malah membuka jendela?"

Sungguh Seungcheol tidak bohong, ia hanya berniat untuk menjaga Jisoo dari cuaca dingin musim gugur di sore hari. Tapi mata kucing Jisoo yang tiba-tiba melotot padanya malah membuat Seungcheol terkesiap dan tersenyum kaku. Berulang-kali ia memindahkan atensinya pada jalanan dan Jisoo yang menggerakkan kedua tangannya.

"Terserah aku. Apa pedulimu?"

Oke. Jisoo merajuk. Entah berapa kali Seungcheol menghela nafas dalam satu jam ini. Jika saja karbondioksida dapat dijual, mungkin ia sudah kaya sekarang.

Ahh— memang sudah.

"Apa ada yang kau mau? Aku akan menurutimu." katanya, lalu memandang Jisoo setelah memastikan jalanan Seoul sedang lengang. "3 permintaan, untuk hari ini."

Rupanya, penawaran Seungcheol disambut antusias oleh Jisoo. Pemuda tuna wicara itu menggigit bibir bawahnya sembari mengangguk-angguk semangat. Duh, Jisoo itu istrinya, boleh kan Seungcheol mencium bibir kucing menggemaskan itu?

"Jadi, apa yang pertama?"

Jisoo tampak berpikir. Lalu ia menulis di atas salah satu kertas kosong di buku sketsa nya sebelum memberikannya pada Seungcheol. Sepertinya, Jisoo memang mempunyai banyak keinginan hingga ia tak membutuhkan waktu lama untuk menimbang-nimbang.

"Pertama, Lasagna Suga(r)!"

Ketika membacanya, dahi Seungcheol mengerut. Perlahan meletakkan kertas Jisoo di atas dashboard dan kembali melihat pada jalanan yang masih lengang. Seungcheol bisa gila, kenapa Jisoo malah seperti Jeonghan disaat seperti ini? Apa kedai Suga(r) adalah favorit para lelaki cantik?

Seungcheol melirik Jisoo yang menatapnya penuh harap. Yahh— daripada Jisoo merajuk, bukan kah melihat wajah manis yang terus tersenyum dan tertawa itu lebih baik? Hitung-hitung melihat pemandangan mengingat hari-hari setelah kepergian Jeonghan hanya diisi dengan buku-buku medis tua. Seungcheol mengulas senyum sebaik mungkin sebelum mengusak surai hitam Jisoo. Gemas. Jisoo sangat menggemaskan.

RECORDS -Cheolsoo-Where stories live. Discover now