15

905 132 19
                                    

Setelah mencetak beberapa lembar berkas dari folder nya, Seungcheol menutup laptop tersebut dan menyesap kopi hitamnya dengan perlahan.

Malam ini sangat lah dingin, Seungcheol dapat melihat kepulan karbondioksida dari orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumah makan. Ia sudah berada disana selama 4 jam lamanya, mencari tanpa kenal lelah segala informasi mengenai kekasihnya. Beruntung bibi pemilik rumah makan memiliki pergantian shift demi bukanya rumah makan itu untuk 24 jam non-stop.

Ponselnya yang setia di atas meja, berkali-kali berdering memberitahukan pesan dari orang yang sama. Kim Mingyu. Ia ingat ketika melewati pintu lobby hotel, rasa bersalah menyelimutinya kala menyadari jika Jisoo telah membaca pesan yang dikirim oleh Mingyu padanya.

Seungcheol heran juga, bagaimana caranya hingga Jisoo tidak marah-marah padanya?

Dering yang kesekian kalinya membuat Seungcheol mengambil ponselnya dengan sigap. Dadanya selalu berdegup tak karuan tiap hendak membaca pesan dari Mingyu.

From: Kim Mingyu

Lee Seokmin dan Yoon Jeonghan memang terdaftar sebagai dokter promosi di cabang rumah sakit Jerman. Tidak ada yang salah dengan semua datanya, hanya saja apartemen yang ditinggali Seokmin adalah hak milik Jeonghan, namun ia memindah tangankan pada Seokmin.

Note: bagaimana kabar Tuan muda? Apa baik-baik saja?

Seungcheol seolah tidak mempedulikan isi teks tersebut, matanya fokus meneliti catatan yang berada di bawahnya hingga membuat keningnya mengerut. Catatan itu seolah Mingyu mengkhawatirkan Jisoo. Mengkhawatirkan bukan sebagai pelayan dan tuannnya.

"Dasar, ku harap kau diserang Wonwoo dimana pun kau berada!"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Seungcheol menaikkan kedua alisnya. Berpikir keras mengapa ia merasa kesal.

"Ah. Masa bodoh."

Setelah membalas pesan Mingyu, Seungcheol bersandar pada sandaran kursi dengan perasaan kalut yang masih saja menggelayuti dadanya. Ia terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Otaknya seakan sudah mati rasa. Erangan demi erangan menjadi kebiasaannya. Keluhan demi keluhan menjadi temannya.

Siapapun yang melihat kondisi Seungcheol, mungkin akan berpikir betapa mirisnya hidup pemuda satu ini. Wajah putih pucatnya berhiaskan ruam merah di hidung dan sekitar matanya. Bahkan telinganya ikut-ikutan dengan alasan lain. Dingin.

Setelah melewati malam panjangnya dengan 2 cangkir kopi hitam, 4 piring pasta, dan sebuah laptop yang terus menyala hingga pukul 8 pagi, Seungcheol masih setia membuka mata bulatnya yang menyendu di tiap menitnya.

Nihil.

Perginya ia dari hotel, mengecewakan Jisoo, hingga menempuh malam dengan dingin yang menusuk tulang, sia-sia begitu saja. Seungcheol menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana ia yang selalu dielu-elukan sebagai dokter jenius, merasa terkecoh oleh seorang Yoon Jeonghan, yang bahkan Seungcheol daoat menebak dimana pemuda cantik itu pernah menyembunyikan burung nurinya.

Hey, tapi Jeonghan bukan lah seorang nuri.

Seungcheol menghela nafas panjang ketika mendapati mentari yang telah meninggi. Orang-orang berlalu-lalang memulai aktifitas di balik kaca rumah makan yang tengah ia singgahi. Tangannya bergerak menarik surai halusnya ke belakang, lalu bersandar sepenuhnya pada kursi empuk yang didudukinya. Mencoba melepaskan segala persoalan yang tampaknya tak kunjung mampu ia selesaikan.

Dering ponsel sudah tak lagi mengejutkan Seungcheol. Ia mengambil ponselnya dengan ogah-ogahan. Mengira Mingyu yang menghubunginya, sikap yang tadinya tampak biasa saja berubah menjadi lonjakan hingga Seungcheol hampir terjungkal dari duduknya.

RECORDS -Cheolsoo-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang