Aruna - 13. Memang aku

2.7K 419 209
                                    

Perubahan. Memang seringnya mendadak dan membuat kaget. Tak ada alasan untuk lebih lama di pondok. Sekembalinya ke kota, aku segera menenggelamkan diri pada pekerjaan yang lama kutinggal.

Sejenak aku mampu sibuk dan lupa.

Mulai terbiasa dengan kehidupan normal. Seperti sekarang, aku harus melakukan perjalanan sendiri dari pondok ke kota. Memang sering bolak-balik. Syifa sibuk dengan urusan wisuda. Maka jadilah aku yang sering bantu-bantu di pondok.

By the way, kini aku cukup dekat dengan ustazah Qonita dan ustaz Muaz. Mereka sangat open sekali. Bahkan sering mengajakku serta dalam acara kumpul keluarga. Rasanya mau nangis, ketika mereka bilang bahwa aku anak gadis mereka pada orang-orang.

"Kalo ada apa-apa cerita. Jangan sungkan." begitu kata ustaz. Bahkan ustaz berencana akan menguliahkanku ketika dia liat kemampuanku dalam bidang design-yang kuperoleh hanya dari belajar otodidak. Ustaz Muaz memang tidak memiliki anak perempuan seorang pun. Tapi meski begitu. Ada masih banyak sungkan dan segan dalam diri. Merasa nggak pantas.

Biasanya aku pulang, nebeng, bersama mobil pondok yang kadang sering bertolak ke Ibukota. Hanya saja kali ini aku seorang diri. Dan kabar buruknya aku harus naik angkutan umum itu berjam-jam.

Ya, katakanlah aku alay atau semacamnya. Tapi bagiku tempat umum dengan banyak orang itu mengerikan. Terlebih naik angkutan umum. Itu seperti membangkitkan memori lama.

Syukurnya sekarang ketakutanku sudah nggak sehebat dulu. Semenjak bertemu dia.

Setelah pertemuan pertama kami. Dia mengajakku naik angkot. Tentu saja aku tolak. Tapi bukan Zikri namanya jika dia nrimo gitu aja. Selalu ada kesal dan tawa saat bersamanya.

"Lah, tempo hari juga narik jaket gue. Masa naik angkot doang nggak berani?" Ingatnya tapi aku tetap nolak.

"Nggak mau, ya, nggak mau. Jangan maksa deh."

Dan dia tetap keukeuh.
"Harus belajar berani kan?" tanyanya. Kini lebih serius.

Aku menggeleng.

"Ayo, coba. Belajar. Kalo enggak elo gue tinggal." Ancamnya yang membuatku merengut kesal. "Ada gue juga. Gue jagain. Tenang."

Aku berakhir naik angkot. Tahan napas sepanjang perjalanan, hingga keringat dingin sebesar biji jagung bertimbulan. Tanganku ikut basah, berkeringat. Ingin segera cepat sampai dan semua ini berakhir.

Kucoba alihkan perhatian ke arah luar. Menakar berapa lama lagi kami akan sampai. Tapi sebagaimana Ibukota yang kejam. Sebentar-sebentar berhenti. Macet. Percayalah, melihat kemacetan pun kadang bisa menimbulkan ketegangan tersendiri.

Ketika sampai perempatan, sebagian penumpang turun. Berikutnya segerombolan laki-laki beranting naik. Empat orang. Aku terpaksa geser duduk ke dalam, terpojok mepet ke belakang. Semakin jauh dengan Zikri yang berada di dekat pintu. Aku langsung seperti sesak dan menggigil.

Masih teringat jelas, bagaimana dia menyelamatkanku dari kepanikan yang sudah mulai menjalar itu. Tepat saat angkot berhenti menunggui lampu merah.

"Dek, lo pindah depan sini, ya? Kasian calon istri gue entar nangis lo liatin."

Sebagian bersuit "cie". Yang lain tebengong, kepo. Aku? Kesel. Karena mendadak diriku jadi pusat perhatian. Zikri kemudian pindah duduk ke sisiku. Dan aku nggak punya pilihan selain berpegangan pada tangannya agar tak panik.

Ketika kami turun, kuhembuskan napas berkali-kali, lega. Zikri sampai terpingkal dibuatnya. Menyebalkan.

"Kalo lo masih ngerasa perlu ama tangan gue buat nemanin lo tidur. Boleh, kok. Gue nggak akan nolak." Ujarnya. Yang bikin aku buru-buru melepaskan pegangan yang sudah sedari angkot itu, lalu berusaha menginjak kakinya tapi gagal. Apa daya, Zikri punya refleks yang bagus. Hanya saja, kupikir. Kadang dia sengaja nggak menghindari pukulan dariku, biar aku puas dan nggak kesal.

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now