Aruna - 8. Angkuh

2.9K 387 129
                                    

Hari-hariku terasa dua kali lebih berat tanpa dia. Aku berusaha tegar. Tapi nyatanya air mataku tak henti menumpahkan sedih. Semua sakit, marah, gundahku seperti ombak bergulung yang susul-menyusul menghantam. Berhari-hari, hingga aku demam tinggi.

Aku memutuskan memberi tahu Syifa. Aku nggak tahu harus ke siapa lagi. Khaira pergi, suster Yana pindah. Dokter Lyn? Dinas luar.

"Gimana rasanya? udah mendingan?" tanya Syifa begitu sampai di kosan, meraba dahi. Menakar suhu tubuh.

Aku mengangguk, mendudukkan diri. Ia membantu mengambilkan segelas air hangat di nakas.

"Udah berapa hari? Kita ke dokter, yuk!"

"Seminggu, Kak. Kurasa nggak perlu. Karena sakitnya itu sebetulnya di sini dan di sini." Aku menunjuk kepala lalu dada. Lemas.

"Aku ada bawa bubur. Kamu makan, ya?" tanya Syifa hendak ke belakang mengambil piring.

Aku menggeleng. "Nanti aja, Kak. Nanti kumakan."

Syifa meletakkan bungkus bubur itu kembali. "Apa yang terasa?"

Aku memperbaiki posisi duduk. Syifa membantu menata bantal yang menumpu tubuh.

"Bingung, gelisah, trus takut, Kak. Ada banyak hal yang beban banget aku simpan sendiri. Mentok. Bener-bener. Aku bingung ngatasinnya. Rasanya sesak."

Mataku basah. "Rasa insecure, takut, marah, sedih, bingung, lelah, khawatir, merasa nggak layak semuanya nyatu.

"Ini malah rasanya aku mau lari lagi ke dia. Nemuin dia. Meski kemarin kami udah sepakat.

"Aku sadar betul. Aku tahu Ini yang terbaik, terlebih buat dia. Kami memang harusnya pisah. Aku ini toxic. Cuma makin ke sini aku merasa nggak sanggup ngejalanin semuanya sendiri tanpa dia."

"Dia? Dia siapa? Cewek?"

Kelu. Aku menggeleng. "Cowok."

"Kamu pacaran?"

"Maaf." aku terisak. "Aku tahu aku salah. Tapi tolong jangan marahin aku. Aku nggak tahu harus ke siapa lagi. Kepala aku bilang aku harus rela melepas dia."

"Itu bagus. Kamu mau melepas itu luar biasa. Jangan balik lagi."

"Iya sadar, kok. Cuma badan sama hati berontak sekarang. Padahal kepala udah bilang ini yang terbaik. Dia juga bilang. Katanya aku harus ikhlas.

"Aku lelah, Kak. Bantu aku kembali. Aku lelah menentang. Lelah mencari pembenaran bahwa segala hal yang kulakukan itu betul.
Aku udah terlalu jauh. Kotor. terlalu angkuh."

"Sholat kamu gimana?"

Aku menggeleng, "Kadang sholat kadang enggak. Tapi lebih banyak enggak."

"Kenapa?"

"Nggak tau. Berat aja. Hambar. Tuhan mungkin selalu ada buat kakak, tapi nggak ada buat aku."

"Itu nggak benar. Runa bisa istighfar, Dek?"

"Nggak mau nyebut, Kak. Terlalu angkuh." ucapku menangis menutup mata dengan kedua tangan.

"Hei, liat kakak." Aku melepas kedua tangan yang melekat.

"Kita mulai satu-satu. Kakak bersedia temani kalo Runa mau sungguh-sungguh."

"Bagaimana kalo aku ternyata nggak bisa sungguh-sungguh? Tau dari mana, kak, batas sungguh-sungguhnya."

"Kenapa harus ragu-ragu lagi? Runa udah melangkah. Yakin, Dek."

"Bukannya nggak mau lakuin, tapi, aku buta, Kak. Aku nggak tau apa itu sungguh-sungguh. Jadi dari mana bisa dinilai sungguh-sungguhnya? Trus kalo aku udah jalan dan ternyata itu bukan tindakan sungguh-sungguh, malah melenceng lagi." Aku mendengkus. Lelah. "Berhubung aku nggak ngerti apa itu sungguh-sungguh."

"Langkahnya udah diambil tinggal diteruskan."

"Definisinya, Kak? Tolong jelasin apa itu sungguh-sungguh. Ciri-cirinya? Bentuk tindakannya? Ada buku jelasin perilaku sungguh-sungguh nggak?"

Syifa menghela napas. "Sungguh-sungguh. Artinya nggak main-main; dengan segenap hati; dengan tekun; benar-benar.
Mulai dari niat, ucapan, dibuktikan dengan tindakan."

"Nggak ngerti, Kak." Sahutku menggeleng dengan air mata meleleh di pipi. "Aku kesal sama diri sendiri. Nggak enak dadanya. Nggak enak, kak."

"Ayo. Istighfar yang banyak."

"Nggak bisa, Kak. Mungkin hati aku udah mati."

Syifa seperti memutar otak. Kulihat dia mengambil smartphone dari balik gamis. Mengetikkan sesuatu di notes. Dan menyodorkannya kepadaku. "Ayo, baca."

Aku menggeleng.

"Ayolah, Dek." Ucapnya dengan nada membujuk, memusut punggung.

Aku menfokuskan diri ke layar. Mencoba mengeja apa yang tertera. "As-tag-firullah." sebutku.

"Ulangi," katanya.

"Rasanya asing, Kak."

"Ulangi sampe sepuluh."

Aku menurut memenuhi bilangan. "Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. Udah, kak."

Dia mengetikkan sesuatu lagi. Menyerahkan padaku lagi.

"As-tag-hfirullah al-ladzi laa-ilaa-ha-illa huwal hay-yul qay-yum wa atuu-bu ilai-h."

Syifa mengangguk. "Sampe sepuluh," katanya.

"Astaghfirullah alladzi laailaahailla huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih." Ulangku menggenapkan angka.

"Ikuti kakak." Ucapnya.

"Aku, Runa."

"Aku, Runa."

"memohon ampun kepada Allah."

"Memohon ampun kepada Allah."

"Yang tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar, selain Dia."

"Yang tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar, selain Dia."

"Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengurus."

"Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengurus."

"Mohon ampuni aku."

"Mohon ampuni aku."

"aku bertobat kepada-Mu, Ya Allah."

"aku bertobat kepada-Mu, Ya Allah."

***

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang