Zikri - 18. Pertengkaran kesekian

630 121 47
                                    

"Sudah mau pulang, Kak?" Dede, adiknya Runa, menghampiri saat berpapasan denganku di persimpangan.

Kusempatkan berhenti setelah meminta Mira mendorong kursi roda ayah lebih dulu ke parkiran bersama Ummi. Syifa masih belum kembali dari ma'had.

Kusunggingkan senyuman seraya menjabat tangannya. "Iya. Tekanan darahnya sudah turun. Aman selama terusin obat. Papamu gimana?"

Dede mengambil alih salah satu tas di tanganku. Lumayan meringankan ketika dia memilih menyertai langkah di sepanjang lorong.

"Dokter bilang sudah stabil."

Bisa kudengar hela napasnya yang panjang. Stabil dalam artian masih bertahan di rumah sakit, mungkin. Raut cemasnya tak mampu ditutupi dengan senyuman. Terlalu mudah terbaca.

Kuhentikan langkah, merogoh buku catatan dari dalam ransel. Buku biru berisi kenangan dan luka.

"Ini ... punya Runa."

Aku tidak membuangnya, tidak juga menyimpan. Benda itu milik Runa.
Mungkin lancang membaca keseluruhan. Nyatanya itu yang kulakukan di sela kejenuhan dunia kerja. Rasa ingin tahu yang harusnya tak dilakukan.

Jemari Dede seolah ragu untuk meraih hingga aku harus menurunkan tas dari tangan yang penuh untuk memaksanya mengambil.

"Kakak nggak kasih langsung? Kak Runa bilang sudah otewe." Dede menunjukkan pesan dari ponselnya tanpa ragu. Untuk apa?

Ayah dan Ummi sudah tak terlihat di lorong. Mungkin karena kami terlalu lama berdiam. Namun, sosok lain yang muncul membuatku langsung mengambil alih tas dari pegangan Dede dan mengucap salam.

Aku tidak benar-benar pergi, hanya melihatnya dari kejauhan setelah mengambil belokan melalui lorong lain. Bertemu dengannya hanya akan memperlebar luka yang telah kugores.

Runa.

Dulu kuharap menjadi pengobat duka. Ternyata aku sendiri menjadi sebab rindu yang menyakitkan.

***

"Abang antar?" Kutawarkan diri ketika melihat sang istri mengenakan khimar lebarnya. Serba gelap, mungkin marun, cenderung cokelat.

"Iya." Suaranya terdengar pelan, tanpa emosi.

Pertengkaran terakhir, Mira sesenggukkan dalam dekap, meminta maaf telah berteriak. Aku memilih diam, membiarkan setiap keluh yang mengalir dari bibirnya selama tidak meninggikan suara.

Bukankah Umar bin Khattab yang disebut singa padang pasir pun memilih diam ketika sang istri marah?

Tidak semua wanita mampu menerima masa lalu dari pasangannya. Aisyah pun cemburu pada Khadijah meski telah tiada. Apalagi Mira yang tak mungkin dibandingkan dengan Ummul Mukminin.

Kami manusia biasa. Belajar menjadikan pernikahan sebagai penyempurna separuh agama. Ternyata, ini alasannya.
Pernikahan tidak semata pemenuhan dapur, sumur, kasur. Duniawi.

Pernikahan menjadi ladang pahala ketika mampu menjadikan hubungan sebagai sarana mendekatkan diri pada Yang Maha Agung.

Aku baru pulang dari kantor ketika Mira meminta izin untuk menemui kedua orang tuanya. Belum sempat berganti apalagi mandi, kuiringi langkahnya menuju luar rumah seraya meraih kunci mobil di gantungan. Tidak mungkin mengajak Mira mengendarai roda dua ketika gelap.

Aku bertanya, "Sampai kapan kita mau diam?" setelah memasangkan sabuk pengaman pada Mira.

"Mira nggak diam." Ucapannya tanpa menatapku, melainkan melihat luar jendela yang tertutup cukup menjelaskan jika ada yang tidak beres.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang