Zikri - 3. Kasihan?

1.3K 188 126
                                    

Runa sempat meminta Zen menikahinya. Menurutku dia bodoh. Memaksakan hati adalah hal paling menyakitkan untuk dijalani. Seperti bom waktu yang mungkin meledak kapan saja.

Hal itu juga yang membuatku memutuskan melepaskan Khaira. Aku memang menyukainya, tetapi percakapan yang tak sengaja kudengar antara Khaira dan Zen tentang janji masa lalu mereka membuatku merasa seperti penghalang.

Zen sudah seperti adikku sendiri. Tekadnya untuk belajar ilmu agama setelah menjadi mualaf membuatku takjub. Apalah aku yang masih jalan di tempat?

Predikat anak dari seorang ustaz ternama tidak lantas menjadikanku alim. Terkadang aku membenci karena segala yang kulakukan seolah mampu menjadi pembicaraan di manapun. "Zikri yang berprestasi, Zikri yang hafiz quran, Zikri yang...."

Membayangkannya saja mengerikan. Ada banyak hal yang harus kucapai agar tak merusak nama ayah di muka publik.

"Lo tau, Run?"

"Nggak. Lo belum bilang."

Kadang bicara sama Runa itu harus ekstra sabar. Bisa jadi emosiku yang bakal nggak terkendali saat memegang pisau, mengupas apel untuknya.

Pegangan tangan tadi, mungkin bagi para murid ayah, bakal dihujat. Aku nggak sengaja, refleks. Sulit untuk menghindari khalwat dalam berbagai macam keadaan.

"Lo mau ngomong apa, Zik?"

"Bisa sopan dikit? Gue lebih tua enam tahun dari lo."

"Iya. Lo tua. Apa gue perlu bilang lo kakek biar tegas sekalian kalau lo tua?"

Desis keluar dari bibirku. Bagaimana bisa Khaira merawat adik sepertinya?

"Kita bisa saling mengenal lebih dekat sebelum lo mutusin janji gue bisa dipegang atau nggak. Paling nggak, lo terima tawaran gue kemarin. Setidaknya kerja sekaligus amal bisa bikin lo sibuk dan nggak berpikir yang aneh-aneh."

Runa tergelak saat menerima piring berisi potongan apel dariku. "Suster Yana muji lo mulu dari kemarin."

"Lo mulai cemburu?" Pertanyaanku justru membuat gelaknya kembali terbit meski sempat reda. Bahkan lebih kencang.

"Ayah bilang, suara wanita juga bisa dikatakan fitnah. Apalagi kalau memikat." Ucapanku kali ini membuat Runa diam seketika, menahan tawa dengan mengatup paksa bibirnya.

"Sumpah, Zik. Gue belum ada kepikiran buat suka sama lo apalagi cemburu. Gue cuma kesel kalau harus berpikir lo baik, orang-orang bilang lo baik."

Runa berhenti mengoceh saat mengunyah makanan. Gerutuannya menyiratkan tidak suka. Mungkin karena beberapa fakta nyata ketika dia beberapa kali memergoki aku justru memiliki orang lain di belakang Khaira.

"Cewek yang waktu itu. Sebelum lo nemuin Zen nyelametin gue dulu. Lo masih sama dia?"

Aku ingin mengangguk, tapi semua orang sudah tahu jika perasaanku murni tertuju pada Khaira. Nama gadis yang tertera dalam surat undangan, tetapi tak terwujud dalam pelaminan.

"Lo tahu, Zik? Gue nggak suka dikasihani."

***

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang