Aruna - 7. Buat terakhir

2.9K 371 159
                                    

Aku baru aja selesai dari konsul rutin dengan Dokter Lyn. Suster Dini langsung hampiri. "Ada yang lagi nunggu di taman." bisiknya.

Btw, suster Yana pindah tugas. Agak sedih rasanya. Tapi juga lega di suatu sisi. Karena kalo suster Yana tau gimana hubunganku dengan Zikri. Dia pasti nggak akan suka.

Suster Yana yang penggemar berat Ustaz Musa itu, akan sangat kecewa jika tahu putra idolanya justru seperti itu. Kalo kata nasyid yang sering diputar di Pondok. Iman itu nggak diwariskan. Iman itu disongsong. Nggak datang sendiri.

Terus terang aku juga merasakan itu. Was-was. Takut. Hati nggak tenang. Kalo kata Ustadzah Qonita dulu. Itu semacam warning dari sisi malaikat pada diri kita bahwa perbuatan yang kita lakukan itu salah. Orang-orang yang berbuat dosa, sudah pasti tak tentram hatinya.

Tapi, untuk sekarang, ini nggak mudah bagiku. Berhari-hari nggak bertemu makin bikin aku sadar.

Aku nggak bisa hidup tanpa dia.
Aku belum bisa melepaskannya. Dia satu-satunya lentera dalam kelam. Satu-satunya orang yang mengerti aku. Satu-satunya yang melihatku seperti manusia. Bukan orang aneh, yang sakit jiwa.

Maafkan aku sang pendosa. Yang selalu mencari dalih alasan pembenaran atas sikap tak pantas.

Aku bergegas. Ingin segera melihat wajahnya meski masih kesal. Setelah menghela napas. Kusapa dia.

"Ngapain lo datang lagi? Kita kan udah putus."

"Kapan kita jadian?" sahutnya menoleh bangkit dari duduk. Sungguh, beberapa hari terakhir aku merindukan orang ini. Meski dia kadang emang menyebalkan.

"Gue nggak pernah nembak lo. Gue cuma bilang kalau gue mau nikahin lo. Itu aja."

liat'kan? Ada saja jawabannya. Ckck.

Aku putuskan mengambil duduk di sisinya. Masih diam.

"Kenapa lo suka novel?" tanyanya melirik buku di tanganku-yang kubawa kemana-mana seharian ini. Lima chapter lagi tamat.

"Suka aja. Kenapa?"

"Nggak kepikir buat nulis juga? Temen gue ada yang bilang, emosi bisa dialihkan lewat tulisan. Penyaluran yang baik, menurut gue."

"Belum. Benarkah?"

"Coba aja."

Aku menimang-nimang buku di tangan. "Tapi gue kayaknya nggak bakat."

"Kayak diary. Tulis apa yang lo rasain."

"Hm. Oke deh."

"Buat langkah awal." Zikri menyodoriku sebuah buku notes kecil. Cantik. Warna biru muda.

"Jadi gue nulis di sini?"

"Di tembok besar-besar. Lo pikir?"

Aku mendecak. Kesal. Masih heran sama diri sendiri yang masih menjadikan orang menyebalkan ini spesial.

"Klo lo beneran mau di tembok, gue panggilin temen gue yang jago mural."

"Buat apa juga. Enggak, ah. Gue di buku ini aja." sahutku seraya memeluk notes itu. "Tapi lo nggak boleh liat."

"Buat apa juga gue liat? Kek gue penasaran aja!"

"Siapa yang tahu... Intinya.. Dilarang. kepo..!" jelasku penuh penekanan. Dan dia pun terbahak.

"Ngapain lo ketawa?"

"Lucu aja. Kenapa sih lo nggak jinak aja dari awal?"

Aku mengkerut. "Paan sih. Emang piaraan, jinak."

"Boleh aja, kalau mau." tambahnya dengan tawa makin kenceng.

"Ish, males banget."

Zikri bergeser duduknya sedikit. Kali ini lebih hadap-hadapan."Bisa ngaji?" tanyanya serius.

"Pernah. Tapi nggak tau sekarang
mungkin lupa. Udah lama banget. Kenapa? Lo mau ngajarin gue?"

Hening. Aku masih menoleh. Menunggu.

"Lo mau belajar ama Syifa? Gue mungkin nggak ke sini dulu."

"Kenapa?" tanyaku agak meninggi. Refleks. Serius. Dan Zikri, tertawa lagi. Aku nggak terpengaruh.

"Gue serius! Lo mau kemana?" tanyaku menuntut jawaban.

Dia masih terpingkal. Dimana letak lucunya?

"Ekspresi lo lucu!" jelasnya seolah tahu pikiranku.

Cie, yang takut ditinggalin." ujarnya
menggoda sambil mencubit pipiku.

Dia masih aja nggak serius. Makin kesal kan jadinya. "Gue sedang nggak bercanda, Zikri!" tekanku. "Lagian siapa juga yg takut ditinggalin. Pede!"

"Gue kebanyakan bolos. Kena SP1."

Aku langsung diam. "Sorry." ucapku setelah menemukan suaraku kembali. Lalu menoleh lurus-lurus padanya.
"sampe kapan?"

"Belum tahu. Oh, ya. Syifa bilang lo udah mulai kerja di IC? Gimana?"

"Iya, bantu-bantu bikin flyer buat branding medsos dan lainnya. Kemarin baru aja lauching komunitas baru namanya "Khairunnisa."

Aku menghela napas panjang. Terserah dia akan berpikir gimana. "Gue takut sendiri, Zik." Ingin rasanya berlagak cuek. Tapi nyatanya malah ngaku. Takut nyesal.

"Zik!" Panggilku ulang. "Jawab, kek!" aku menggerutu.

Zikri kayak kehabisan kata, lalu garuk-garuk kepala. "Kenapa? Kutuan lo?"

"Nggak, lah. Kepala gue bersih, wangi. Mau cium? Pertimbangkan tinggal di wisma?"

"nggak ah. Ntar lo modus lagi." Aku mendesah memandang jauh-sejauh yang aku bisa. "Soal itu masih gue pikirkan."

"Wisma bagus. Berkumpul dengan orang baik akan membawa lo baik. Kenapa nggak coba aja dulu?"

"Gue lebih nyaman sendiri soalnya."

"Jangan kebiasaan sendiri. Lo butuh temen ngomong."

Antara mau nangis tapi gimana.
"Lo berencana mau ninggalin gue 'kan? To do point aja lah." sahutku lelah.

"Kalau gue masih kayak dulu, mungkin beda cerita."

"Nggak usah banyak alesan. Kalo mau pergi mah pergi aja. Berhenti sok perhatian!"

"Harusnya memang jaga jarak. Belum halal." Ia tak terpengaruh dengan ucapanku.

"Serah lo deh!"

Zikri mengikis jarak tanpa sisa. Hingga jantungku berdetak lebih cepat. "Pergi sana!" suruhku mendorong tubuhnya. Tapi nggak berefek besar.

Dia justru menggenggam kedua tanganku. Tapi aku memaksa lepas. Buru-buru bangkit.
"lo tau pintu keluar di mana. Misi, gue capek."

"Buat terakhir..." serunya tak menyerah. Kembali menarikku berbalik.

Hatiku mendadak mendung "Apa?" Sahutku sendu. Tanpa terasa air mata ini jatuh.

Dia merengkuhku ke dalam pelukan.
Aku menangis di situ. "Lo tega, Zik. Tega." Aku memukul-mukulnya ringan. Seperti kehilangan daya.

Dia tetap tak bersuara. Cuma merengkuh lebih dalam. Dan aku hanya bisa terisak tertahan dengan keputusannya.

***






Terimakasih untuk support-nya.🤗
Selamat beraktifitas
...

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now