Zikri - 10. Aku Mengharapkannya

677 110 61
                                    

Ayah mengajakku mengunjungi Syifa di pesantren. Cuma berharap kalau mereka tidak lagi berusaha menjodohkanku seperti beberapa bulan terakhir.

"Bertemu saja dulu. Istikharoh. Siapa tahu nama yang kamu sebut menjadi pilihan yang baik."

Kalimat Ummi sempat menyentak. Mungkin karena usahaku mengetuk pintu langit masih sebatas doa di penghujung salat. Doa untuk orang tua, doa sapu jagad, dan zikir yang lumrah.

Istikharoh, ya? Terakhir melakukannya ketika aku memutuskan untuk menikahi Khaira. Tidak dengan Runa.

Awalnya aku hanya mengikuti naluri, merasa mampu menolongnya. Namun, hidupku sendiri menyedihkan. Bagaimana aku bisa membimbingnya jika aku sendiri buta?

Awal melangkah di Ma'had Az-Zubair, suasana ramai langsung melingkupi ayah. Tidak sedikit yang mempertanyakan keberadaanku di belakang ayah. Beberapa santri malah langsung menjabat tangan dan memeluk saat memberi salam.
Suasana ini terasa sangat canggung. Sesaat hangat. Namun, kembali menyakitkan saat pujian menyeruak.

Entah. Menerima pujian bukanlah gayaku. Rasanya diri seperti magnet yang bertolak.
Kuedarkan pandangan, mencari adik yang sudah tidak lagi kecil dari kerumunan santriwati. Akan tetapi, pandanganku justru bertabrakan pada sosok Runa yang berjalan cepat melintasi jalan setapak. Dia di sini, menunduk dan ... tersenyum?

Aku turut menunduk, berusaha sembunyikan lengkung yang mewakili ledakan di dada. Tinggal beberapa hari dan aku harus menyatakan pada Ayah dan Ummi mengenai niatku melamarnya.

Sesaat teringat ketika dia masih begitu berani menatapku. Seolah menantang dengan segala amarah yang memenuhi kepalanya tentang hidup.

"Gue nggak suka dikatain! Gue berjuang buat bisa jadi yang terbaik, tapi nggak pernah dilihat. Cuma kalau gue nyakitin diri sendiri baru mereka panik. Takut dituntut dinas sosial kali kalau jadi ortu yang nelantarin anak."

Tawanya mungkin terdengar menyeramkan bagi orang lain saat itu, tapi untukku, ada banyak duka di dalamnya.

Seseorang yang banyak tertawa cenderung menyimpan kekecewaan yang terlalu dalam, bahkan mungkin sulit diungkap. Seperti aku.

Melihat Runa, aku seolah bercermin dengan sisi negatif. She has white basic, and I have black basic, inside.

"Lo tahu, Run? Kata orang, makan buah itu bisa hilangin emosi berlebihan." Kutawarkan dia potongan apel yang telah bersih dari piring. "Serius."

Runa menggeleng. Akhirnya potongan apel kumakan sendiri sambil menerka ekspresi penasaran yang ditunjukkannya.
"Hilang?"

Pertanyaan konyol macam apa yang diucapkannya? "Jelas aja hilang. Apelnya. Masuk perut." Dan aku menertawakan rengutan yang sudah menjadi hiburan ketika di rumah sakit.

Setelah perhatian para santri yang mengiringi, Ustaz Muaz menggiring kami untuk membawa koper menuju rumahnya. Sempat kutuliskan sajak pada lembaran kertas saat menunggu para orang tua saling bertegur sapa di beranda rumah.

Sederet kata yang tunjukkan jika hidup tidak hanya derita sebelum bahagia sesaat. Hidup itu sendiri adalah rasa sakit dan bahagia yang terus beriringan. Baik sebagai ujian hidup, hukuman, atau pengecoh atas keikhlasan dan keimanan. Semoga dia mampu mengerti dalam kata-kata sederhana.

"Nulis apa, Bang?" tanya Syifa begitu menghampiri aku yang menjauh dari kerumunan.

"Kepo, dih!" Kututup buku kecil yang menjadi alas lembaran begitu selesai. Melipat kertas dengan cepat lalu menyerahkannya pada Syifa. "Jangan dibuka! Titip buat Runa."

Syifa menimbang-nimbang kertas di tangannya. "Runa? Abang beneran serius dengan janji enam bulan itu?" Sudut bibir kanannya naik sambil menatap orang-orang yang berkumpul di beranda. Tersenyum remeh.

Syifa memanggil salah satu santriwati yang melintas untuk menitipkan suratku lalu kembali bicara, "Syifa kira Abang ke sini karena lamaran yang Ayah ajukan ke Ustaz."

"Lamaran?"

"Bang Zikri nggak tahu?"

Aku menggigit bibir bawah sambil menggeleng. Perasaanku jadi berat saat harus menghela napas dan mendongak. "Ya Allah .... Apalagi kali ini?"

***

"Sekufu seperti apa, Ummi?" Aku terus protes setiap kali Ummi menegaskan kelebihan Mira. Santri yang Ummi anggap sesuai untukku.
Kriteria seperti Khaira terus membayangi Ummi.

"Usiamu sudah dua tujuh, Zik. Mau berapa lama lagi kamu menunda pernikahan? Kamu nggak kasihan sama Syifa, adik kamu?"

Kenapa harus ngebawa-bawa Syifa lagi? Bukannya nggak masalah jika Syifa lebih dulu menikah?

"Apa kata orang jika Syifa yang lebih dulu menikah?"

Pembicaraan sempat terhenti saat terdengar suara berisik di belakang rumah. Sempat kupastikan dari jendela. Namun, tidak ada siapa pun di sana.

Aku kembali pada pembicaraan, melihat Ummi terduduk pada kursi di dalam kamar, menangisi kenyataan ketika kusebut nama Runa di hadapannya. "Ummi nggak mau jika Zikri nanti harus kesulitan menghadapi Runa. Ummi mau Zikri punya pasangan yang mampu mengikuti keluarga kita."

Aku berlutut di kaki Ummi, menggenggam kedua tangannya yang telah basah karena menyeka air mata.

"Biar Zikri pertimbangkan, Mi. Zikri nggak bisa kasih harapan palsu ke Mira dengan menerima perjodohan. Zikri nggak bisa, Mi."

Apa yang harus kulakukan? Janjiku pada Runa, pada Syifa, dan pada Sang Mahakuasa.

Kucium punggung kedua tangan Ummi, meminta pengertian, tetapi tak mampu menolak.

Aku takut memilih.
Mengiakan mampu membahagiakan banyak pihak, tapi Runa? Bagaimana jika kekecewaan menghampirinya? Bagaimana dengan perasaanku yang telah tertancap dalam dan harus dicabut paksa?
Inikah maksudnya? Dilarang mencinta sebelum waktunya.

Aku tak mengerti. Perasaan ini tumbuh dengan sendirinya, merambat sampai ke sudut terdalam.

Apa semua karena niatku berubah masih belum ikhlas? Apa semua karena tujuanku untuk mendapatkannya?

Kugumamkan istighfar di sepanjang sesaknya dada. Menahan panasnya kelopak yang menahan aliran.

"Beri Zikri waktu. Biar Zikri istikharah dulu, Mi."

***

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now