Zikri - 20. Ya, Allah.. hamba lemah

670 114 44
                                    

Syifa memberi beberapa contoh undangan dari dalam kamar begitu aku memasuki rumah. "Abang kasih pendapat."

Kutelisik kertas-kertas tebal terbungkus plastik seraya duduk pada sofa. "Secepat ini?"

Desainnya lebih mirip kartu pos, tanpa ayat Quran. Ternyata pendapatku diikuti, menggunakan terjemahan tanpa mencantumkan aksara Arab. "Khawatir jika diletakkan sembarangan terus terinjak-injak," ucapku saat itu ketika Syifa ingin mencantumkan keutamaan pernikahan di dalamnya.

"Ayah minta Syifa jangan berlama-lama. Apalagi dia terus datang." Syifa mengangguk antusias ketika mengambil posisi di sampingku. Turut melihat bakal undangan di tangan.

"Masyaa Allah. Maaf kalau Abang terlalu sibuk sampai Syifa mengurus sendiri. Ini kenapa ikutan ngeliatin?"
Aku sempat memberi jarak, menggeser posisi, tapi adik perempuanku ini belum mau memisahkan diri.

"Syifa nunggu Bang Zikri baru mau lihat."

Baiklah. Huruf-huruf besar cetak miring dengan warna cokelat berpadu latar krem yang lembut menegaskan nama calon pengantin.

Kaizen Morel

dan

Khalila el Syifa

Terbayang setiap kepanikan yang mendera sang adik saat awal-awal menolak rasa. Aku bahkan mengancam akan memukul pemuda itu jika terus menemui Syifa. Nyatanya, siapa yang sangka mereka berjodoh.

Aku merelakan Khaira untuk Zen. Kupikir mereka akan menikah, ternyata aku sendiri terjebak bersama kisah seorang Aruna.

Mira yang menghampiri, memilih duduk di samping Syifa, menerima contoh undangan yang sudah kubaca.
Belum ada yang tahu mengenai talak yang kujatuhkan pada Mira beberapa hari lalu. Kami masih memiliki masa tiga kali suci untuk bisa rujuk. Dua kali dikurangi masa haid Mira kali ini.
Mungkin akan jadi berita mengejutkan bagi keluarga besar
jika tahu keputusan yang kami ambil.

Semua orang akan bertanya-tanya, apa yang menyebabkan pernikahan sempurna dari pasangan yang terlihat bahagia untuk berpisah?

Sungguh, biarkan itu jadi rahasia dalam kamar kami. Tidak perlu menjelaskan, karena manusia pun tidak akan mengerti meski berada pada posisi kami.

"Kapan cetaknya?"

"Secepatnya."

"Abang suka yang ini, tapi terserah Syifa." Kuletakkan desain berlatar malam dengan ilustrasi kerlip bintang membentuk garis lengkung berakhir pada pola hati di sudut. Sederhana untuk tampilan kartu pos.

Aku beranjak lebih dulu, membiarkan mereka saling berbincang mengenai antusias pernikahan. Mungkin, aku jahat, membiarkan Mira menjadi janda dalam kurun tiga bulan pernikahan. Namun, dia yang meminta.

"Tidak semua wanita mampu menerima masa lalu. Hamba lemah, bertahan tetap berada pada lingkaran. Hamba lemah, karenanya hamba tidak mampu berbaur dengan orang-orang di luar kalangan. Hamba lemah, takut terlena dengan dunia hingga larut dalam kebinasaan."

Kudengarkan kalimat itu ketika dia terlarut dalam doa sepulang aku salat jamaah Subuh. Biarkan dia mencari jawaban yang diinginkan selama masa iddah*.

Kami belum temukan cara yang tepat untuk memberitahu semua orang meski surat cerai telah di tangan.

Aku menunggu, biar dia putuskan untuk keukeuh berpisah atau kembali.

***

Keranjang buah yang kubawa terjatuh tepat saat Runa menabrak di lorong rumah sakit. Dia sepertinya terburu membawa lembaran kertas hingga bertebaran.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang