Zikri - 7. Spekulasi

769 139 123
                                    

"Apa yang terjadi, Bang?"

"Zen?"

Zen berada di luar ruangan Runa ketika aku keluar. Bersandar di dinding dengan tatapan menyipit padaku.

"Yang tadi itu beneran Bang Zikri?"

"Ini nggak seperti yang kamu pikirin."

Kepalaku tertunduk, terpaku pada sudut sepatu dengan banyak alibi berkelebat. Namun, tak ada kata yang keluar seperti biasa. Suaraku tersekat.

"Bang Zikri yang biasanya jaga jarak sama Khaira? Bang Zikri yang biasanya ingetin tentang jaga pandangan? Tadi itu apa?"

Zen masih belum beranjak. Dia menertawakanku dengan miris.
Yang kutakutkan, orang yang telah percaya padaku, menjadikanku panutan, justru sangat kecewa.

"Iya. Memang aku."

Zen mendekat, menunjuk-nunjuk dadaku dengan emosi. "Bang Zikri lebih tahu hukumnya. Di mana rasa malu Bang Zikri sama ketentuan Allah?"

Setelahnya, tarikan napas panjang terdengar sebelum bicara lagi. "Ibu tadi minta tolong kasih tahu Bang Zikri kalau Ustaz masuk rumah sakit. Kecelakaan."

"Ayah kenapa?"

Zen menggeleng. Dia bilang, "Belum tahu. Tadi rencananya aku mau jemput Bang Zikri di kantor. Kata orang kantor, Abang gendong perempuan berjilbab yang pingsan."

Dia melewatiku dan melanjutkan langkah perlahan tanpa berpaling. Apa Zen sedang memperolokku?

"Aku kira Syifa. Ternyata bukan. Syifa bilang yang ketemu Abang itu Runa, makanya aku kepikiran ke sini dan lihat Bang Zikri berbaring di ranjang yang sama? Neraka sedang menyambar-nyambar, Bang."

Aku tetap bergeming. Meski Zen tidak lagi berada di tempat yang sama, ucapannya masih terus berulang dalam pikiran.

Emosiku sempat memuncak, tapi Allah kembali mengingatkan. Sang Maha pembolak-balik hati sedang menegur.

Kulirik Runa dari jendela. Dia masih terbaring memunggungi arah pintu masuk. Belum ada tanda terbangun.

Mungkinkah Allah menguji kesungguhanku menolongnya? Atau menegurku karena menggunakan cara yang salah?

***

"Bang Zikri!" Aku mendengar suara Syifa memanggil. Di ujung lorong menuju unit gawat darurat, Syifa mendorong kursi roda ayah.

Setengah berlari, kuhampiri sang adik. Ummi sempat memukul bahuku. Meski pelan, aku tahu mungkin beliau kecewa.

"Wa alaikum salam." Ummi mengingatkan. Aku langsung istighfar sebelum mengucap salam dan menyalami Ayah.

"Tadi Zen nyari Bang Zikri ke kantor. Ummi bilang Runa juga ke sana, nganterin makanan buat Abang," celoteh Syifa saat aku mengambil alih tugas mendorong kursi roda ayah.

"Runa sempat ke rumah?" tanyaku, berpura tak tahu. Nyatanya beberapa jam lalu kuhabiskan menunggu Runa sadar, memandangi wajahnya dengan banyak pertanyaan. Sayang berakhir dengan kekecewaan.

"Ummi tadi nitip bekal untuk Zikri. Belum sampai? Runa cerita sama Ummi, katanya Zikri nawarin kerja bantu-bantu di IC, makanya dia mampir."

Penjelasan Ummi cukup masuk akal. Jadi Runa bertanya pada yang lain. Apa dia mengira aku berbohong?

"Zen bilang nggak ketemu Kak Zikri di kantor." Syifa tidak melanjutkan kalimat, dia melirik pada Ummi sesaat sebelum melihat delikanku.
Apa mungkin Zen cerita?

***

"Abang mau ke mana lagi?" Syifa menahan pintu rumah saat aku bersiap pergi setelah memastikan ayah bisa beristirahat.

"Keluar bentar."

"Satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan lain, Bang. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."

"Aku nggak bohong kalau bilang mau keluar."

"Abang nggak mau menjelaskan?"

"Menjelaskan?"

"Apa perlu Syifa minta Ummi menjodohkan Bang Zikri sama Runa?"

Aku tergelak dengan pertanyaan Syifa. Bisa-bisanya dia mikir kalau mengajukan ke Ummi bakal semudah itu. Belum. Runa belum bisa secepat itu masuk dalam keluarga.

"Kamu yakin Ummi bakal setuju? Ummi selalu menekankan wanita itu dinikahi karena empat hal; hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya." Kugerakkan jemari di depan wajah Syifa untuk menegaskan. "Yang mana Runa punya? Nggak ada."

Kusingkirkan Syifa dari pintu dan duduk di pelataran rumah untuk memasang sepatu.

"Berhenti kasih harapan kalau Abang nggak berniat menikah. Khalwat itu berbahaya. Jika berdua dalam satu ruangan, yang ketiga adalah setan."

"Abang tahu."

Kutinggalkan Syifa dengan segala spekulasi. Dia benar. Mungkin untuk sementara, Runa butuh waktu.

***

Sorry kemarin nggak sempat up, lagi struggle banget 🙏

Votenya dong!

Terimakasih 🤗

NB. Cerita ini diikutsertakan dalam lomba novel Kwikku. Mohon doanya teman-teman. Terimakasih lagi.

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now