Zikri - 21. Khulu'

704 103 47
                                    

"Bener kan kecurigaan Mira? Abang masih ketemuan sama perempuan itu, kan?"

Aku terkejut menemukan Mira di sudut lorong menuju pintu keluar. Lebih tidak menyangka ketika melihat Hye Rin tersenyum di belakangnya sambil menggerakkan tangan seolah menyapa.

Gila. Ini tindakan paling gila yang dilakukannya.

Air mata Mira memunculkan gemuruh di dada. Tapi ketika ingin mendekat, dia lebih dulu memajukan telapak tangan, memintaku berhenti.

"Malu, Mira. Dilihat banyak orang."

"Abang nggak malu ketemu perempuan lain? Mira pikir kita masih punya kesempatan rujuk, tapi sepertinya Abang sudah punya rencana." Ucapannya saat pergi lebih dulu sukses membuatku melongo.

Bukankah mereka dulu bersahabat di pesantren? Kenapa Mira justru lebih mudah percaya dengan wanita yang baru dikenal seperti Hye Rin?
Wanita asing itu sekilas bicara dalam bahasa Inggris. Terdengar seperti ucapkan, "Aku tidak bisa merelakanmu jadi milik orang lain."

Tak kuindahkan ucapan Hye Rin dengan memilih mengejar Mira meski dia terus mengikuti dan memanggil-manggil namaku.
Beberapa kali kendaraan di sepanjang jalan menuju parkiran berhenti dadakan karena mengalah dengan isakannya.

Langkah terhenti ketika melihat pasangan yang kukenal dari Ma'had Az-Zubair. Ustazah Qonita seketika memeluk Mira saat berjumpa. Sedangkan aku terdiam di tempat, menetralkan napas dan kekhawatiran yang singgah.

***

Cemas. Mungkin itu yang kurasakan saat Ustaz Muaz melihat kami bergantian sebelum menyesap teh yang Mira sediakan. Ruang tamu terasa menyempit pada kami bertiga. Ustazah Qonita memilih mendampingi Runa di rumah sakit sehingga belum tahu permasalahan kami.

"Jadi, Zikri dan Mira belum cerita pada keluarga jika sudah bercerai?"

"Mira sudah." Dia terdengar lebih antusias saat menjawab, sedangkan aku masih terpaku pada ujung-ujung jemari yang tak tenang menutup lutut.

"Zikri?"

Kalimatku terasa menggantung pada langit-langit mulut, memilah tiap kata yang terucap pelan. "Zikri berharap masih ada harapan untuk rujuk, tapi ...."

"Bohong. Bang Zikri terus ketemu Runa. Bilang aja Abang memang niat mau dekat lagi sama dia."

Mungkin itu yang orang katakan jika perempuan lebih mendahulukan perasaan di depan lidahnya. Mungkin juga karena banyak yang Mira pendam untuk dikatakan.

"Runa?" Ustaz tercenung sesaat, meresapi bentuk protes Mira padaku.
Aku menghela napas, lagi, menunggu Mira berhenti, baru kemukakan pemikiranku.

"Seperti Ustaz tahu. Ayah sempat dirawat di ruangan yang sama dengan papa Runa. Tapi, demi Allah, Zikri nggak mikir sejauh itu untuk mendekati Runa."

Ustaz mengusap dada sambil beristighfar. "Atas dasar apa Zikri menjatuhkan talak? Abghodhul halali ilallah ta'ala thalaq. Halal yang paling dibenci Allah. Pernikahan kalian saja baru menginjak bulan keempat."

"Apa Zikri harus katakan pertimbangan Zikri, Ustaz?"

Ustaz Muaz ingin meminum tehnya lagi, tetapi isi telah kosong. "Intinya saja kalau memang sulit mengatakan semuanya."

Mira pamit masuk ke dalam sebelum aku menjawab. Kalimat yang harus kupikir berkali-kali biar tidak menyebutkan kesalahan rinci yang bisa saja mempermalukan kami berdua.

"Kewajiban seorang istri, Taz. Menjaga lisan, menutup aib, dan menyenangkan suami." Aku belum selesai bicara. Jelas jika hanya mengungkap satu pihak, aku termasuk ujub*.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang