Aruna - 15. Berjanjilah Bahagia

2.3K 337 105
                                    

Rumah. Sesuatu yang akrab tapi asing. Bertemu Papah dan Ibu seperti terperangkap dalam ruang penuh kabut. Lemas. Bikin sesak.

Setiap inci rumah hanya menyisakan kenang yang buruk. Kudapati pertengkaran, teriakan, hardikan, kata-kata tak pantas, vas yang dibanting, Ibu yang meronta, pukulan papah, diriku yang menutup telinga, ketika melewati ruang tengah.

Kamar. Papah yang mendobrak pintu, memarahiku habis-habisan karena menyembunyikan rapor-tersebab nilai buruk. Tasku yang dihamburkan, hardikannya, sabetan ikat pinggang itu lagi, tanpa henti, yang membuatku menangis hingga tertidur. Kebas.

Kamar mandi. Aku yang kambuh-kehilangan kendali. Marah pada mereka yang pilih kasih. Cemburu habis-habisan pada Dede. Ragaku seperti diambil alih. Seperti bukan diriku. Aku menenggelamkan adikku sendiri itu ke bak mandi. Syukurnya... itu cuma bayangan jahat yang seakan nyata yang berhasil tidak kuwujudkan, dari sekian banyak ilusi yang kujadikan nyata.

Dapur. Aku yang menodong pisau. Dia yang meneriakiku durhaka. Pertengkaran kami. Benturan di tembok. Nyeri di kepala. Tatapan ibu yang berlalu. Tubuh yang terhempas, remuk. Bau anyir. Benci.

Ya.

Semuanya memang semenyakitkan itu.

Aku berusaha baik, berupaya bersikap baik. Tapi entah kenapa sulit sekali bagi orang semacam Papah untuk bicara yang baik tanpa menyinggung. Ia mencoba berkomunikasi tapi ujung-ujungnya selalu berakhir nggak nyaman.

Ibu?
Seperti biasa banyak diam. Seolah baginya cukup menangani segala sesuatunya dengan diam. Ibu, wanita yang seakan lupa caranya tersenyum. Seolah kebahagiaan itu telah tercerabut dari dalam dirinya.
Dari yang sempat kudengar dari orang lain, dulu, ibu termasuk orang yang periang. Tapi kemudian berubah semenjak menikah. Mulai tertutup, nggak mau kenal lingkungan.

Orangtuaku menikah dalam kondisi tanpa restu dari kedua pihak keluarga. Keluarga Papah tak suka ibu. Pun sebaliknya. Keluarga Ibu tak respect pada Papah.

Maka di keluarga ini tak akan ditemukan acara kumpul-kumpul keluarga. Tidak ada agenda silaturahim ke sana ke mari.
Jika libur atau weekend kadang mereka refreshing ke luar kota. Dan aku termasuk yang memilih tinggal ketimbang ikut bersama.

Di rumah, aku lebih banyak di kamar. Malas bermasalah. Papah sejak di rumah karena stroke ringan yang dialaminya-suka menghardik, marah-marah, uring-uringan-tak jelas. Agaknya ia frustasi karena tidak bisa membantu ekonomi keluarga.

Satu-satunya yang dapat kuajak berkomunikasi dengan nyaman hanya Dede. Kini dia telah menginjak kelas sebelas. Berbeda denganku, tak ada tuntutan macam-macam untuknya. Dia tidak unggul di akademik. Dan sepertinya itu juga bukan soalan, sekarang. Dia dimanja Papah dan Ibu. Apa pun inginnya dipenuhi. Tapi itu juga tidak serta merta membuat Dede menjalani hari dengan nyaman.

Dede tetaplah anak broken home. Ia tumbuh dengan kekecewaan besar terhadapku. Ia kecewa pada kakaknya yang memilih pergi-meninggalkan rumah, meninggalkannya.

Sejak dulu Dede paham. Ia mengerti situasiku. Aku masih ingat saat ia memergokiku mengendap-endap ke rumah mengambil beberapa barang untuk pergi lagi.

Ia memohon kepadaku untuk tinggal. Tapi aku nggak bisa.

"Kenapa kakak nggak di sini? Kenapa kakak nggak tahan aja? Temani aku. Jangan tinggalkan aku. Bawa aku juga!"

Kini dia sudah jangkung jauh melebihi tinggiku. Dia bukan lagi anak kecil yang akan menangis, menurut-minta ikut, jika kakaknya hendak pergi.

Dede lebih kuat, itulah yang aku syukuri. Dia tumbuh seperti remaja nakal kebanyakan. Merokok, gonta-ganti pacar, kadang juga ikut tawuran. Syukurlah nggak sampai narkoba.

Aku tak bisa memberi nasehat apa-apa untuknya. Aku nggak punya hak. Aku nggak pernah ada untuknya.
Nggak bersamanya saat dia membutuhkan.

Kini, kami sudah sama-sama dewasa. Hanya mencoba saling mengerti dan menghargai privasi masing-masing.

"Kamu jarang di rumah." Keluhku sekali waktu, saat kudapati ia tengah duduk di balkon memandang langit, menghirup asap.

"Toh, kakak juga akan pergi, 'kan?" tanyanya yang kujawab dengan keheningan.

"Nggak masalah. Aku udah terbiasa mengatasi semua sendiri." Begitu saja dia mengakhiri pembicaraan kami. Lalu pergi lagi berhari-hari. Pulang sesekali.

Orang tua? mereka tak bisa berbuat banyak. Pun terhadapku. Mereka tak berkomentar ketika tau rencanaku akan ikut dengan tante dalam waktu dekat.

***

Keputusan ini final.

Ya, mungkin, ini jalannya. Sepertinya Tuhan mengabulkan rencana itu untuk pergi jauh-jauh dari hidup dia.

Sebuah keputusan, setelah berupaya keras untuk membangun keberanian yang tercerai- menyuarakan ingin, memperjuangkan cita-hal yang jarang sekali kulakukan.

Sebelum kecelakaan itu, sebetulnya aku telah menemui Syifa, menceritakan semua.
Tentang aku yang tak berdaya, tentang aku yang tidak siap untuk kehilangan lagi, tak mampu hidup tanpa abangnya, dialah alasanku bertahan sejauh ini.

Tentang aku yang berjanji akan memantaskan diri, memampukan apa saja-siap mengusahakan semua; agar kami bisa bersama. Aku menangis, meratap, memohon, merintih.

Tapi tidak setelah mengetahui segala fakta. Kenyataan rumit yang membuat lemas.

Semua tidak sesederhana yang kupikir.
Ada banyak aral melintang yang harus dilalui jika kami nekat menerjang. Akan ada banyak luka jika ingin ini dipaksakan.
Syifa minta maaf-ia mengaku nggak bisa bantu-nggak berdaya. Aku rasanya lumpuh seketika.

Sebuah keputusan dibutuhkan, dan aku memilih pergi. Mungkin dengan berada jauh darinya, ini akan jadi lebih mudah bagiku-juga untuknya.

Tadinya, aku nggak berencana akan berterus-terang. Pergi dan menghilang bagai buih agaknya lebih baik.

Tapi nyatanya kondisi membenturkan kami lagi. Dugaanku-Zikri telah tak sangaja dengar semuanya.

Hingga akhirnya kuputuskan untuk memberi tahu.
Akan menyakitkan, jika dia tahu dari orang lain.

Seperti sebelumnya, wajah penuh luka-kecewa itu, kian nyata di hadapan-hati terasa dipelintir. Nyeri.

Haruskah kumenangis? Haruskah kunyatakan yang sejujurnya?

Nggak.
Aku menahan diri untuk tidak luruh.

"Maaf."

Hanya itu yang kumampu. Tak bisa bercakap lebih.

Mungkin hanya Tuhan
dan biarlah cukup Dia yang tahu segalanya.

Zik, kau mungkin nggak akan percaya. Kaulah satu-satunya harap itu. Kaulah segalanya. Curahan hati ini. Kau seorang. Tidak yang lain.

Dan inilah suratan yang mesti kutelan.
Kita memang nggak bisa satu.
Tak ada takdir baik untuk kita.
Pilu, ketika ini kutuliskan di buku harian darimu itu.

Tapi aku.. nggak menyesal, sama sekali.

Makanya kukatakan. Terima kasih.

Terima kasih karena sudah ada di sekitar. Terima kasih untuk semua- selama ini. Meski kutahu.. berikutnya, kamu takkan ada lagi.

Kamu tahu?
Ini menjadi kali pertama bagiku untuk nggak egois, seperti yang dulu kamu bilang. Aku hebat, ya?

Rasa ini baru buatku-
menginginkan yang terbaik untuk seseorang..,
mendoakan bahagia untuk orang selain diri sendiri.
Aku sudah sejauh ini. Kamu sadarkah?

Dari dulu aku menyuarakan ingin bahagia.
Jika itu bukan aku. Berarti ini jadi bagianmu.

Zik.. berjanjilah untuk bahagia. Aku ingin dan kamu harus.

Yesterday, i loved you
To day i leave you
Tomorrow,
i miss you.

***

Lanjut kak arishandi99 dulu ya

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now