Aruna - 21. Menerima Lamaran

2.1K 281 122
                                    

Aku berkunjung ke pesantren sekaligus membawa oleh-oleh yang belum sempat kuberikan. Tanpa disangka ketika tiba di ambang pintu, rupanya ada Mira di ruang tamu bersama ustadzah Qonita dan ustazah yang lain. Kulihat air mukanya langsung berubah. Begitu bersitatap, ia langsung berlari ke dalam. Segera kukejar. Kutangkap bahunya.

"Mira, aku mau bicara!"

Dia langsung menoleh. "Apa?" tanyanya dengan ekspresi terluka.

"Kudengar kamu akan bercerai."

"Bukan urusan kamu 'kan?"

"Memang bukan. Lalu kenapa kamu menghindariku?"

"Aku nggak menghindar."

"Jangan bohong!"

"Okay. Langsung saja. Aku benci kamu, Runa."

Rasanya seperti disambar petir siang bolong. Tergagap. Bagaimanapun dipojokin begini sangat tak nyaman. "Ke-na-pa? Apa yang salah?"

"Kamu masih belum tahu kesalahanmu?"

Kutegakkan dagu. "Ya. Apa salahku?"

"Ada hubungan apa kamu dengan Bang Zikri?"

Aku menggeleng. "Nggak ada hubungan apa-apa."

"Jangan bohong. Aku baca diary kamu!"

Aku melotot. Ya Tuhan. Susah payah aku mencari diary itu di sana, rupanya justru di Indo sini. "Apa? Itu privasiku yang nggak seharusnya kamu baca, Mir!" hardikku akhirnya. Berusaha meredakan amarah. "Okay. Kuakui. Itu masa lalu."

"Oh ya? Kamu sudah nggak ada perasaan apa-apa sama Bang Zikri?"
Aku diam.

"Kenapa kamu kembali? Kenapa?" nggak mau jawab?" Kulihat kemarahan di mata itu kian menyala. "Karena kamu tahu rumah tangga kami akan berakhir. Iya kan? Munafik!" teriaknya mendorongku.

Tanpa sadar tubuhku sudah maju, tapak tanganku tepat mendarat di pipi Mira. Refleks, iya.

Lalu tiba-tiba saja para ibu sudah memegangi kami. Mira menangis.

Aku kalut. "Mir... maaf. Maafkan aku.. Aku nggak sengaja!" Ungkapku berulang. Menyesal. Ustazah Rahimah sudah menarikku ke ruang tamu. Sedangkan Mira dibawa ke kamar oleh Ustazah Qonita.

Cukup lama waktu berlalu hingga ustadzah Qonita kembali. Ustadzah bilang, Mira butuh waktu. Kondisinya memang belum stabil. Makanya jadi begitu. Ah, ya. Aku lupa. Gadis seperti Mira adalah satu dari sekian mereka yang jarang mendapat kesulitan berarti di hidup.

Aku kembali mengucapkan permintaan maaf atas reflekku yang selalu saja menyakiti orang. Ustadzah mengingatkan agar aku selalu berupaya dan belajar untuk mengendalikan diri, jangan mudah tersulut. Tidak ada hal baik dari emosi yang meledak-ledak.

Aku sadar betul akan hal itu. Dan berjanji akan lebih barusaha untuk punya kontrol diri. Ini benar-benar menjadi PR besarku. Menjadi lebih sabar dan tenang apapun itu kondisinya.

Malamnya, Mira keluar menemui.
Ia minta maaf kepadaku atas ucapannya yang keterlaluan. Aku pun begitu. Minta maaf kepadanya. Berikutnya kami berbaikan. Alhamdulillah.

Mira mengaku bahwa ia dan Zikri justru sudah bercerai. Ada semacam ketidakrelaan kulihat dari matanya. Bukankah dia begitu bahagia ketika kabar lamaran itu ada?

Aku enggak mengerti kenapa Zikri sebegitu mudah menceraikan. Well, aku memang nggak tahu permasalahannya. Tapi tetap saja, perceraian bukanlah solusi. Apa pun problem-nya, akan selalu ada solusi jika kedua belah pihak sama-sama mau menuju titik temu. Lalu siapa yang keras kepala?

Tadinya aku adalah seorang yang cenderung lari dari masalah. Namun tidak kali ini. Semua harus kuhadapi dan kuselesaikan.

Melihat Mira yang penuh tanya itu. Aku memutuskan untuk menjelaskan semuanya agar clear. Bagaimana hubunganku dan Zikri berakhir dan aku tak punya niat sedikitpun untuk merebut Zikri darinya.

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now