Aruna - 16b. Ikhlas

2.2K 333 79
                                    

Aku berpamitan pada Syifa yang terburu-buru karena mendadak ia dipanggil. Sebagai adik pertama dari mempelai pria-tentu ini salah satu hari tersibuknya.

Aku sudah berjalan hendak menuju gerbang keluar. Tapi langkahku terhenti. Aku berbalik. Mempertimbangkan untuk melihatnya kali terakhir. Boleh 'kan?

Ketika sampai, untunglah ruangan belum disekat. Orang-orang masih sibuk berlalu lalang.

Di sana aku melihatnya tengah duduk, tersenyum jenaka kepada seseorang di sisinya. Hangat, seperti biasa. Beberapa saat aku terpaku. Rindu.

Aku sudah hendak kembali. Tapi kaget seketika-melihatnya tersedak. Beberapa langkahku refleks ke arahnya, hingga lihat dan sadari. Dia sudah punya seseorang di sampingnya. Mira menyodorinya minum setelah menepuk-nepuk punggung. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mira tentu akan menjaganya dengan baik.

Tadinya... kupikir, kisah ini nggak akan berakhir. Aku akan tetap terus memilikinya. Dia akan selalu ada dan temani.

Tadinya... kupikir, Tuhan menghadirkan anugerah cinta ini,
karena memang dialah orangnya.
Perasaanku yang beda. Bukan seperti rasa ke Zen dulu. Itulah debar pertama yang kurasa ketika dia memelukku. Masih terngiang kalimatnya saat itu.

Gue nggak tahu hidup lo sekacau apa. Tapi kalau lo merasa butuh seseorang buat cerita. Lo bisa ngandalin gue.

Ya. Dia laki-laki pertama yang menghapus air mata ini.

Aku tertawa. Miris. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa rasa ini anugerah dari-Nya sedangkan yang sedang kami lakukan saat itu adalah hal yang mengundang murka-Nya-bermaksiat di hadapan-Nya.

Aku memutuskan segera berbalik ketika kulihat Bu Rahmah datang ke arahku. Kupercepat langkah.

Semua kejadian beberapa bulan terakhir seperti terputar kembali, hingga pembicaraanku tadi dengan Syifa.

"Kamu emang udah berupaya lupa, tapi kalo dalam hatimu belum bisa menerima, maka hal itu justru akan terus datang dan muncul lagi ke dalam pikiran dan hati kamu. Itulah sumber masalahnya."

Aku menyeka air mata berusaha melihat jernih layar ponsel. Memesan taksi buat ke bandara.

"Dek, kamu nggak dapatin Bang Zikri. Itu bukan berarti dunia hilang untukmu. Boleh jadi, itu titian dari Allah, agar kamu belajar menjadi yang lebih baik lagi."

Yang langsung saja aku timpali.

"Sepertinya nggak akan ada yang lain, Kak. Aku udah sungguh-sungguh berusaha. Tapi nyatanya... nasib nggak pernah berpihak padaku."

Syifa menggeleng.

"Mencintai seseorang itu ibarat investasi. Kamu tahu 'kan, investasi? Syifa menatapku lurus-lurus. "Untuk mendapatkan penggembalian-keuntungan, pasti ada modal, pengorbanan terlebih dahulu.

"Sama halnya dalam suatu hubungan.
setiap hal yang kamu habiskan dalam suatu hubungan, baik itu waktu, tenaga, pikiran, hati, itulah investasi. Jika dalam bisnis ada yang
namanya ROI, Return on Investment, alias balik modalnya. Nah, kalo dalam hubungan 'kan nggak ada. Bubar ... yah, bubar aja. Jangankan ngarapin balik modal. Untung aja nggak bakalan.

"Itulah yang bikin kamu susah move on. Terlalu banyak kisah. Gitu 'kan? Sulit menerima kenyataan- sementara kamu udah berkorban banyak untuk hubungan tersebut.
Semakin banyak kenang tentu ia-nya semakin mengakar. Kenangan-kenangan itu yang menyerangmu bertubi-tubi, yang kamu hidupkan dalam kepalamu sendiri-karena kamu belum bisa terima sepenuhnya."

"Jadi... yang harus kamu lakukan dalam kondisi seperti ini, bukan melupakan. Tapi melepaskan. Menerima keadaan. Pelan-pelan. Relakan semua tanpa ada satu pun dalih tersisa."

***

Aku menyalami beberapa dari teman-teman yang berpapasan- berpamitan dengan buru-buru.

Aku memutuskan menunggu-menumpang duduk di kursi supermarket pinggir jalan.

"Runa? Berangkat sekarang?"

Seketika langsung kaku. Bu Rahmah. Semenjak mendengar dari beliau kalo 'kami nggak sekufu'. Aku memang selalu menghindar untuk nggak bertemu langsung dengan ibunya Zikri ini.

Aku langsung bangkit, menyambut tangan itu dengan kikuk. "Iya, Ummi. Pesawatnya nanti jam setengah dua."

Bu Rahmah menangkup wajahku, memandangku lama. Lalu membawaku ke pelukan dengan sayang.

"Runa minta maaf, Ummi. Udah bikin kecewa. Maafkan Runa karena udah nggak amanah sama Ummi."

"Ummi juga minta maaf, ya, Nak." Ada serak di situ. "Percayalah... ini yang terbaik buat kalian. Zikri butuh orang yang lebih tangguh daripada dia. Begitu pun kamu."

Aku mencoba mengukir senyum semampunya. "Doakan Runa kuat, ya, Mi."

"Insya Allah. Selalu mintakan pertolongan sama Allah."

Bu Rahmah menyerahkan sekantung bawaan sesaat sebelum aku menaiki taksi yang menunggu. "Oleh-oleh untuk orang di sana." Katanya.

Aku pun pamit.

Ya. Nggak ada yang salah di sini. Bu Rahmah hanya inginkan yang terbaik untuk anaknya, untukku. Untuk kami. Semua pasti ada hikmahnya. Baik adanya.

Di perjalanan. Sebuah pesan chat masuk. Dari Ustazah Qonita. Segera kubuka. Sebuah foto secarik kertas, di hadapan Kakbah.

Tertulis di situ.

Semoga putriku Aruna segera dipertemukan jodohnya yang sholeh, dan bisa menyusul ke Baitullah. Aamiin.

"Aamiin." ulangku sendiri.

Zikri mungkin memang bukan untukku. Mungkin ada seseorang lain di luar sana. Yang entah di mana. Yang juga perlu kusongsong untuk mengikhtiarkannya.

Ya. Inilah saatnya untuk mengakhiri. Aku harus ikhlaskan semua pengorbanan dan investasiku pada dia.

Aku yakin. Pelan tapi pasti, aku nantinya akan bisa lepas. Merelakan semua harapan-harapan yang pernah kupupuk dulu, bersamanya.

Perjalanan ini mungkin tak sebentar. Memakan waktu. Mungkin berhari-hari, berminggu - minggu, atau berbulan - bulan.

Ini memang nggak mudah, tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan.

Move on. Aku dapat definisi baru tentangnya sekarang.

Move on. Ialah seni melepaskan dalam sebaik-baik penerimaan-penuh kerelaan.

Sebuah pesan chat masuk lagi. Rekan kerja di IC. Kak Alvi. Kupikir dia melihatku sesaat-ketika sudah mencapai pintu taksi, sedangkan dirinya baru datang hendak memarkirkan motor.

"Have a safe flight, Na." Katanya.

Aku tersenyum. Mengetikan balasan.

"Insya allah. Terima kasih, Kak."

***

ZIKR MAHABBAH Where stories live. Discover now