Zikri - 2. Dia tidak gila

1.8K 237 93
                                    

Gadis yang kutemukan hampir melompat dari jembatan itu kini dalam pengawasan dokter jiwa. Dia bukan gila. Datang ke dokter jiwa bukan hanya untuk orang gila. Runa hanya ..., putus asa.

Kaus yang kukenakan belum berganti sejak semalam, tapi Zen sudah membawakan pakaian ganti sekaligus memberi kabar pada orang rumah.

Teman yang bersamaku saat kejadian ternyata cukup dekat dengan Runa.
"Gimana kabarnya?" tanya Zen begitu menemuiku di lorong rumah sakit.

Siang yang ramai membuat antrian bisa bertahan berjam-jam.

"Siapa?"

"Cewek yang kamu tolong, Bang."

"Belum sadar."

"Kamu nggak mau pulang aja gitu? Entar kujagain."

"Yakin?"

Aku bukan nggak mau, tapi mungkin kalau Zen bertemu, akan lebih berat lagi bagi gadis itu untuk tidak bersedih. Pemuda mualaf itu ternyata cinta pertama dari gadis yang kutolong.

Selain itu, aku masih penasaran. Apa yang Runa lihat dari Zen?

***


"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya Runa begitu membuka mata.

Aku masih ingin bungkam, memutar pengatur jarak lensa pada objek bidikan dari jendela. Pemandangan dari ketinggian rumah sakit di sini menarik.

"Naufal?"

Dia menyebutkan nama belakangku. Nama yang sering kugunakan saat berkenalan dengan orang-orang di luar lingkungan ayah. Nama yang harusnya tidak dia ucapkan jika tahu aku terbiasa dipanggil Zikri.

Kuhentikan aktivitas memfoto sejenak, meletakkan kamera DSLR di nakas seraya menarik kursi untuk duduk mendekat.

"Zen mana?"

"Lo masih nanyain cowok yang suka sama orang lain?"

Aku masih ingat melepaskan Khaira, sosok gadis muslimah yang sempurna di mataku. Tampilannya yang tertutup tampak anggun. Begitu pun dengan akhlak dan ibadahnya.

Namun, sayang sekali hatinya tidak untukku.

"Gue ... gue mau lihat, apa dia bahagia dengan pilihannya?"

"Cukup, Runa. Biarkan kita tetap di sini. Biarin gue menuhin janji yang gue buat."

Runa tergelak. "Janji? Lo beneran ngajak gue nikah?"

Kuraih kedua tangannya, menyusuri bekas luka yang tergores, dan balutan baru di pergelangan tangan kirinya.

Luka Runa bukan hanya fisik. Jauh di dalam, dia mungkin menyimpan banyak kekecewaan.

"Apa gue bisa percaya cowok kayak lo? Semua orang aja bisa lo bohongin dengan status anak ustaz. Gue nggak."

Kusandarkan punggung pada kursi, menghela napas cepat-cepat.

"Benar. Gue nggak bisa munafik. Karena lo tahu gue sebenarnya.. kenapa nggak kita coba?"

"Coba apa?"

"Saling mengisi segala kekosongan. Gue bakal belajar jadi cowok yang beneran baik, dan lo bakal berusaha sembuh. Deal?"

***

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang