Aruna - 4. Takut Kehilangan

3.8K 461 183
                                    

Dua minggu setelahnya adalah masa-masa kritisku. Aku seperti pesakitan. Berat tubuhku turun hingga 6 kg. Zikri tak lagi datang dan Zen buka suara atas sikap diamnya dua bulan ini.

Dia minta maaf. Dia bilang, dia tidak temukan aku dalam Istikharah-nya.

Sebetulnya sebelum dia bicara, aku sudah tangkap tanda-tanda penolakan itu.

Tapi tetap saja, ini sakit. Rasanya seperti jatuh dihempaskan dari ketinggian lalu pecah berkeping-keping. Remuk, tak keruan.

Aku menangis. Zen bergeming.

"Menjadi yang dilupakan itu sakit, Kak!"

Kulihat langkahnya seketika terhenti. Sebelum mencapai pintu.

"Kakak masih nggak tau siapa aku?"

Hening saja.

"Aku adalah gadis yang lebih menangisi seragam kotor ketimbang luka yang perih. Adalah
Gadis freak yang tak tahu bagaimana bermain, tak punya teman.

"Gadis yang selalu menangis di loteng. Hingga kakak bilang kalau aku terus menangis, hujan juga tidak akan berhenti, dan orang-orang tidak akan bisa pulang.
Begitu, cara kakak membujukku dulu."

Dia mengangkat wajah. "Runa. Ka-mu?"

"Meta. Iya. Aruna Sachi Meta." Sahutku menyeka air mata.

Zen menggeleng lemas seperti kehilangan kata.

"Maafkan aku." ucap Zen akhirnya, langsung tertunduk. Ia sepertinya kembali ingat masa-masa itu. Masa kecil paling kelam. Di mana adikku lahir, nilai raporku memburuk dan aku mulai sering dicambuk papa, menangis sampai tertidur hingga kemudian aku pindah sekolah.

Ya, kami dulu sekolah di yayasan dan kawasan yang sama. Sehingga mudah baginya menjumpaiku.

"Apa yang bisa aku bantu?"

"Tidak ada." Ucapku dengan kepala tegak. "Toh kakak juga tidak memilihku." sahutku perih.

"Bagaimana Ibu?" tanyanya lagi. Sepertinya dia ingat bahwa ketimbang Papah. Aku lebih kecewa pada Ibu.

Tak kuhiraukan. "Semua orang hanya peduli pada Khaira. Sama juga ketika hari itu. Kakak menyelamatkan Khaira dan meninggalkan aku." Aku menghela napas. Isakku belum reda.
"Tidak apa-apa. Dilupakan ... dan ditinggalkan ... Itu. Sudah. Biasa." Tutupku getir.

"Maafkan aku. Sebetulnya aku punya masalah dengan ingatan. Aku.."

"Aku tahu! Kakak nggak salah. Jadi pergilah..."

Zen mengangguk. Lalu benar-benar pergi. Begitu saja-semudah itu.
Apa yang aku harapkan?

Kedatangannya membawa ingatanku kembali kepada hari itu.
Di mana aku bertengkar hebat dengan Khaira.

Ia mendebatku, melarang aku minum. Hingga aku lepas kontrol, memukuli kakinya dengan sapu hingga tak mampu berdiri.

Lagi-lagi aku menyakiti orang yang kusayang.

Apa aku masih layak disebut manusia?

Atau benar yang dikatakan orang-orang itu.

Bahwa aku ini monster?
tak layak ada di bumi.

Duniaku gelap. Berhari-hari aku hanya diam menatap pantulan monster itu di cermin.
Hingga aku putuskan untuk terjun saja dari jembatan, biar sosok monster itu bisa mati dan tenggelam. Itulah masa di mana aku benar-benar sangat ingin mati. Hingga pria itu hadir.

Zikri.

Aku gagal mati sebab sikap menyebalkannya.

Dia berbicara sekehendak hati dengan sangat sok tahu. Menyebutku tidak tahu diri, tidak pandai bersyukur.
Ia melenggang pulang tak peduli dengan kalimat penutup. "Silakan terjun, kalau kau masih ingin bunuh diri."

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang