Aruna - 9. Kembali ke pondok

3K 359 152
                                    

Aku kedatangan tamu. Syifa datang bersama Ustadzah Qonita dan Ustaz Muaz. Ustaz dan Ustadzah dimana aku pernah mondok sebentar.

Benar-benar tak sangka.
Mereka masih ingat aku?
Aku bahkan meninggalkan citra buruk di Az-Zubair dulu.

Tapi Ustazah Qonita justru minta maaf atas hal yang menimpaku di pesantren-karena tak mampu membela. Mereka juga mengucap maaf atas keterlambatan- baru menemui sekarang.

Aku senang.

Kabarnya mereka sedang berkunjung ke Jakarta. Mendengar namaku disebut. Mereka akhirnya minta ikut membesuk.

Aku tak bisa bilang bahwa seluruh kenanganku saat di Az Zubair, baik. Tapi, tak bisa kupungkiri; banyak hal baik terjadi ketika aku berada di sana.

Aku bertemu Khaira yang peduli yang sudah seperti kakak sendiri- dia yang sabar membelaku-mengajarkanku banyak hal, termasuk saat aku panik mendapati menstruasi pertama.

Di sana pula, aku bertemu Syifa yang banyak menolong. Teman-teman yang juga baik, meski saat itu aku cenderung menutup diri-tak pernah mau berakrab ria dengan siapa pun.

Di Az Zubair pula aku belajar bacaan solat yang benar. Belajar mandiri, belajar hal-hal dasar yang ibu tak pernah ajarkan padaku.

Di sana pula aku merasakan bagaimana itu solat lima waktu full sehari semalam-mencoba bagaimana puasa sunnah, merasakan bagaimana bahagianya menunggu waktu berbuka, dan lainnya.

Pondok Pesantren Mahad Az-Zubair, sedikit masa dalam hidup; yang mana aku banyak tersenyum-hingga kemudian fitnah itu datang.

Ya. Kalian benar. Aku memang mencari sosoknya di antara mereka yang ikut. Tapi Zikri, tidak datang. Bahkan namanya saja tidak pernah tersebut dalam pembicaraan. Berbeda yang kudapati dalam mimpi. Dia datang membesuk, menggenggam tanganku-prihatin.

Keesokan harinya. Aku dikagetkan. Syifa muncul dengan sumringah di depan pintu. "Ayo kita refreshing!" ajaknya penuh semangat.

Aku masih bingung memutuskan. Tapi sepertinya Syifa tak menunggu keputusanku. Dia mendorong dan mulai mengomando aku untuk packing.

"Tapi, Kak-?" tanyaku tercekat- bimbang.

"Apa? Kerjaan di IC? Aman! Kakak udah minta izinkan ke Ayah." jelasnya -merapikan isi koper.

"Aku juga belum bilang dokter Lyn."

"Makanya nanti kita ke RS dulu, konsul sekalian stok obat kamu." jelasnya.

Ya, itulah sebenarnya yang paling penting. Aku belum bisa putus dari obat-meski dosis obatku sudah berkurang banyak.

Pernah, aku coba berhenti-tapi alhasil aku panik, kehilangan kontrol lagi.

Tanpa obat-otakku tak bisa istirahat. aku takkan bisa tidur barang sedetik pun tanpanya.

Aku nggak punya alasan apa-apa lagi untuk nolak.

ini apa? Ini pasti karena Zikri ya, 'kan? Apakah ini semua ide darinya?

"Kita mau ke mana, Kak?" tanyaku setelah beberapa waktu.

"Kamu mau kemana?" Syifa malah menanyaiku balik.

"Entah. Aku ikut saja."

"Kita ke Az-Zubair. Setuju?" ucapnya menoleh penuh kepadaku.

Aku mengangguk. Nggak mampu komentar apa pun.

Spechless.

Serius. Aku senang. Aneh, bukan? Jika dulu aku selalu berusaha lepas dan kabur dari sana. Sekarang justru merindukan tempat itu.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang