00

3.5K 207 8
                                    

Pertama kali melihatnya, saat itu aku masih berumur 7 tahun genap 10 bulan. Ayah bilang dia kakakku sekarang, menanamkan dalam otak polosku bahwa ia adalah temanku saat mereka tak ada di rumah.

Aku yang tak mengerti apapun hanya bisa mengangguk patuh sambil memandang bocah berumur 9 tahun itu dengan kerlip heran. Sejujurnya, kami sama-sama bingung. Terlihat dari caranya memandang sekeliling terus-menerus. Mungkin dia heran mengapa ia dibawa ke sini dengan sekoper besar pakaiannya dan sekeranjang penuh mainan kesukaannya.

Dan, kala manik kami bersinggungan, sempat terpikir dalam benakku kalau dia orang autis karena tiba-tiba saja ia menangis—sangat keras hingga membuatku menjerit takut dan berlari menuju kamar.

Namun, kini aku tahu sebab kenapa ia menangis. Ia ketakutan. Ia merasa berada di planet lain karena ia tak mengenal siapapun saat itu. Tentu aku bisa mengerti bahwa berada di tempat yang asing benar-benar menyesakkan.

Omong-omong, namanya Aleena, Jeon Aleena, karena Ayah sudah mengangkatnya menjadi anak perempuannya—menambah nama di kartu keluarga kami.

Kak Aleena—begitu aku menyebutnya—adalah anak semata wayang dari kolega sekaligus sahabat dekat Ayah di Jerman. Kak Aleena menjadi yatim piatu karena semua keluarganya meninggal saat kecelakaan pesawat ketika hendak berlibur ke Pulau Jeju.

Ia tak memiliki siapapun lagi. Hanya Ayahku yang dipercaya menjadi keluarga baru Kak Aleena. Ayah nenjadi wali sekaligus ayah angkat gadis itu sekarang. Semua warisan Kak Aleena berada di tangan Ayah sebelum Kak Aleena berusia 20 tahun.

Sejujurnya, Kak Aleena adalah gadis tercantik yang pernah kutemui setelah Ibu. Matanya bulat dan berwarna almond, rambutnya hitam legam bergelombang sepunggung, kulitnya kuning langsat, jari jemarinya lentik sekali, tubuhnya proporsional, tidak kurus ataupun gemuk.

Definisi keindahan.

Bahkan, saat tersenyum, Kak Aleena seribu kali lipat lebih cantik. Bibirnya yang tipis dan kecil tersenyum lebar hingga kedua matanya ikut tersenyum. Tawanya terdengar indah seperti alunan nada. Semua dalam diri Kak Aleena terasa terlalu sempurna.

Awalnya, aku tak menerima kehadirannya atau lebih tepatnya membenci Kak Aleena sebab ia telah merebut kasih sayang kedua orang tuaku.

Ia merebut pelukan dan dongeng tiap malamku. Ia merebut waktu kedua orang tuaku. Ia merebut kursi makanku yang berada di samping Ibu.

Aku membencinya saat itu. Sangat.

Namun, suatu kejadian membuatku sadar. Bukan salahnya jika semua kebahagiaanku direbut. Mungkin kebahagiaanku adalah sedikit hal baik yang Tuhan beri padanya. Karena, dibandingkan denganku yang masih punya rumah dan orang tua ini, Kak Aleena jauh lebih sengsara sebab kebahagiaannya benar-benar tandas tanpa sisa.

Keluarganya pergi. Lenyap begitu saja. Tak mengucapkan selamat tinggal pada Kak Aleena atau pun membawa gadis itu ikut serta. Dan, aku dengan begitu bodohnya membenci Kak Aleena yang hancur lebur dirinya, yang lukanya masih begitu menganga.

Kak Aleena, jika saja aku tahu bahwa kau begitu kesepian dan ketakutan, aku akan menjagamu sekuat tenagaku, tak membencimu dan berbuat jahil selalu, merelakan semua pelukan dan dongengku untukmu.

Maafkan aku. Untuk semua hal baik dan buruk yang kulakukan padamu. Untuk sebuah fakta mengenaskan yang tak bisa kutampik dalam diriku.

Aku mencintaimu dengan cara yang berbeda, dengan degup cepat di dada dan kepak kupu-kupu di perutku. Aku mencintaimu lebih dari batasan yang ada.

Aku tahu meletakkan perasaan padamu adalah sebuah dosa walaupun kita bahkan tidak sedarah. Tapi, kalau disuruh menenggelamkan perasaanku ini, maaf saja. Aku benar-benar sudah memantapkan hatiku untuk terus mencintaimu sejak saat 'itu' hingga selamanya.[]

Erroneous. [ Jeon Jungkook ]Where stories live. Discover now