10

577 79 0
                                    

"Sudah selesai?" tanyaku saat kakak datang dengan senyuman kecil di bibirnya.

Dia mengangguk pelan, berdiri di sisiku yang sejak tadi menunggunya di gerbang sekolah. Aku segera mengeluarkan ponselku dan menelepon Ibu untuk meminta dijemput sopir.

"Kakak tak lelah berdiri di sini? Kita bisa menunggu Pak Choi di halte depan." Aku menengok ke arah kanan, menunggu jawaban Kak Aleena yang sedang bersandar di tembok sekolah. "Boleh. Aku cukup lelah di hari pertama sekolah."

"Aku juga. Biasanya aku hanya diam di kelas, tapi sekarang aku harus menjaga Kakak pula. Letih sekali," dumelku berpura-pura payah.

Kak Aleena memukul bahuku tidak terlalu kuat. Bibirnya mengomeliku yang terlalu ambil pamrih pada pesan Ayah. Aku tertawa dan mengatakan bahwa aku bercanda. Inilah interaksi yang aku inginkan dengan kakak. Tak ada orang lain, hanya kita berdua.

"Kakak senang bersekolah di sini?" Aku melempar pertanyaan itu saat kami berdua sudah duduk di halte yang penuh dengan teman-teman sebaya. Ekor mataku mengamati bagaimana sudut bibir tipis itu sedikit naik. Rona bahagia tak bisa tertutupi di wajah kecilnya.

"Senang sekali. Aku punya banyak teman sekarang, bisa masuk ke ekskul yang aku suka, dan mengetahui banyak hal baru. Ini terasa seperti permulaan yang bagus, Jung. Kalau kau? Kau juga senang, kan?"

"Tentu. Aku juga senang..." karena kakak berada di tempat yang terjangkau oleh mataku sekalipun atensi itu takkan pernah penuh lagi untukku. Dan ucapan itu hanya terucap di bilik hati.

"Aku pikir ini kali pertama aku begitu senang. Biasanya aku hanya seharian di rumah, bermain dengan Ron atau kau, dan membantu Ibu berkebun. Sekarang semuanya berbeda. Aku bisa bebas melakukan apapun."

"Kau tetap harus memberi batasan pada beberapa hal dan orang lain, Kak," pesanku yang takut jika kakak akan tersakiti lagi.

"Terlalu banyak menaruh harapan pada manusia itu tidak baik," tambahku hampir kelupaan.

"Iya, aku tahu. Lagipula, aku punya kau yang selalu menjagaku. Aku tak perlu khawatir. Kau adalah pelampungku agar tak tenggelam, Jung."

"Apa-apaan dengan julukan itu. Aku bukan pelampung. Aku perahu ya!"

"Sama saja. Pelampung dan perahu sama-sama membuatku tak tenggelam."

"Berbeda, Kak. Aku tak mau jadi pelampung yang menjagamu terlalu erat dan dekat. Kalau jadi perahu, aku bisa menjagamu dengan memberi jarak. Kau punya banyak ruang untuk bergerak tanpa takut basah."

"Benar juga. Kau pintar berkata-kata ya, Jung. Sepertinya buku-buku yang kau baca memberikan efek lumayan. Apa aku harus membaca buku sebanyak kau juga biar pintar?" Kakak tampak berpikir keras. Aku yang melihat itu sontak terkekeh lucu dan mencubit pipi Kak Aleena.

"Kakak tak perlu membaca buku sebanyak aku. Cukup lakukan hal yang Kakak sukai."

"Hal yang aku sukai? Aku belum tahu apa hal yang aku sukai."

"Pasti Kakak akan tahu suatu saat nanti. Mobilnya sudah datang. Ayo kita pulang, Kak," ajakku sambil menarik tangannya yang kosong.

Kami pulang dengan pembahasan sebelumnya yang tertinggal di benak masing-masing. Tentang hal apa yang kami sukai. Mungkin Kakak akan terus mengira bahwa membaca adalah hal yang paling kusukai, tapi kegiatan itu hanya caraku menghabiskan waktu. Hal yang paling aku suka jelas berada di depanku. Bernapas dan tertawa seolah luka lalu tak pernah ada di ingatan kami.[]

Erroneous. [ Jeon Jungkook ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang