01

1.7K 167 2
                                    

Busan, 2004.

Sudah seminggu sejak Kak Aleena tinggal di rumahku yang kelewat luas ini. Seminggu pula, Kak Aleena selalu menghabiskan hari di taman bunga yang Ibu buat di belakang rumah. Aku tak pernah berniat menemani gadis itu karena menurutku ia aneh. Dan, aku membencinya.

Tapi, tiap kali ia duduk sendiri di bangku taman sambil memandang kosong ke arah air mancur di tengah taman, aku diam-diam mengintip dari jendela kamarku di lantai dua. Mencoba menelisik apa yang ia pikirkan, karena sungguh Kak Aleena itu misterius, juga aneh.

Dia selalu tersenyum ketika Ayah dan Ibu pulang dari perjalanan bisnis mereka, tapi selalu menangis saat ia sendirian. Aku tahu karena ia selalu menangis di taman, sendirian.

Atau, ia sedang berusaha memakai topeng pada wajahnya? Lalu, yang mana yang benar-benar dirinya? Yang senang atau sedih?

Malam ini, Ibu dan Ayah bilang bahwa kami akan makan di restoran kesukaanku. Jadi, ketika seruan Ayah terdengar dari lantai bawah, aku segera memacu langkah menuju ke sana. Senyum tak lepas dari bibirku yang dengan hati-hati menuruni tangga. Menimbulkan bunyi derap langkah yang selalu aku suka ketika sol sepatuku bertabrakan dengan lantai kayu mengkilat di rumahku.

"Jungkook, kau duduk di belakang dengan Kak Aleena. Oke?"

Aku membeku di tempat. Melirik presensi itu muak. Kak Aleena lagi. Kak Aleena lagi. Kenapa ia yang selalu diagungkan?!

"Kenapa dia ikut?! Bukankah Ayah bilang kita?!"

Aku mencoba menahan diri untuk tak menjerit. Tapi, saat Ayah menatapku dengan bola mata sedikit melotot, aku tahu aku harus mengalah lagi.

"Jung, yang Ayah maksud kita tentu saja kita berempat. Kau lupa Kak Aleena itu keluarga kita sekarang?"

Aku menggeleng keras. Air mata sudah mengalir membasahi pipiku. Aku tak mau mengalah lagi. Kak Aleena harusnya pergi. Ini tempatku. Ini keluargaku.

"A-ayah, aku makan di rumah saja. Kalian pergi bertiga tidak apa-apa, kok."

"Tapi, Aleena sudah lama tidak keluar rumah, kan?"

Kali ini Ibu yang mengagungkannya. Harusnya Ibu menghibur dan memelukku agar berhenti menangis. Bukannya mengkhawatirkan Kak Aleena.

"Tidak apa-apa, I-ibu. Aleena juga sedang malas keluar."

Kak Aleena menggeleng sambil tersenyum kecil. Ia menatapku dengan mata bulatnya.

"Jungkook pasti sudah lapar. Segeralah berangkat, Ayah, Ibu."

Pun akhirnya aku bisa mendengar hembusan napas bersalah dari kedua orang tuaku. Syukurlah. Malam ini aku terbebas dari Kak Aleena yang aneh dan misterius.[]

Erroneous. [ Jeon Jungkook ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang