2

11.8K 1.8K 104
                                    

Baju seragam yang harusnya berwarna putih bersih itu, kini terlihat lusuh dan kotor

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.


Baju seragam yang harusnya berwarna putih bersih itu, kini terlihat lusuh dan kotor. Pemuda yang mengenakan seragam itu, wajahnya tak jauh beda berantakannya. Wajah memar, sudut bibir robek dan berdarah. Jimin, masuk ke dalam rumahnya dengan langkah enteng meski tahu sebentar lagi mungkin akan ada perang perdebatan entah untuk yang keberapa kali.

"Kim Jimin."

Jimin memejamkan matanya, meski sudah delapan tahun berlalu, Jimin masih tetap berat menyandang marga Kim pada namanya. Jimin selalu ingin menjadi Park Jimin yang dulu. Jimin berbalik saat mendengar suara sepatu beradu dengan lantai yang pasti sudah digosok oleh bibi Nam tadi pagi.

"Ayah memanggilku?" Jimin tersenyum kaku.

Eun Woo mengerutkan kening, tangannya yang semula berada di dalam kedua saku celana hitamnya beralih memegangi pipi Jimin. Jimin meringis sedikit saat jari Eun Woo menekan pipinya yang lebam.

"Kau berkelahi lagi?" Eun Woo berusaha tidak meninggikan suaranya.

Jimin tidak bereaksi.

"Jawab ayah!"

Jimin berdecak, "Ayah lihat sendiri, kan? kenapa masih bertanya?" Jimin yakin, setelah ini pria itu akan menaikan nada suaranya dua kali lebih tinggi, yang mungkin akan membangunkan satu orang lagi yang menambah keseruan perdebatan ini.

"Begitulah kalau bukan sedarah,"

Jimin mengigit bibirnya, membuang pandangan saat neneknya keluar dari kamar.

"Lihat kelakuannya yang semakin mirip berandalan itu, apa anak seperti itu pantas menyandang nama besar kita, Eun Woo?"

Jimin sudah sangat terbiasa dengan segala perkataan pedas dan sinis nenenknya. Oh, pantaskah Jimin menyebut wanita itu sebagai neneknya? sementara wanita itu sendiri tidak pernah menganggap Jimin sebagai cucunya. Satu-satunya cucu yang dia miliki hanya Kim Taehyung, hanya Taehyung.

"Ibu." Eun Woo menekan suaranya.

Jimin menghela napas, "Sudah selesai bicaranya?" tanyanya, "Berandalan ini ingin istirahat." Jimin membetulkan letas tas sekolahnya, kemudian kembali menaiki anak tangga.

Samar, dia masih bisa mendengar perdebatan ayahnya dan neneknya. Jimin mencoba tidak peduli, dan tidak ingin tahu, meskipun dia tahu satu-satunya masalah yang menjadi sumber pertengkaran di rumah ini hanyalah dirinya.

Park Jimin, si anak yang tidak pernah diinginkan.

----

"Jimin."

Jimin mendongak, persis saat dia baru saja membubuhkan alkohol ke sikunya yang lecet.

"Ada apa?"

Taehyung membuka pintu lebih lebar, langkahnya gugup ketika mendekat ke tepi tempat tidur Jimin.

"Jimin." Panggilnya lagi.

Jimin menghembuskan napas keras, kesal. "Ada apa, Taehyung?"

"Kau terluka lagi?" tanyanya.

Jimin melempar kapas beralkohol ke tempat sampah. "Kau sama saja seperti ayah, sudah tahu, kenapa bertanya lagi? Ah! benar, kalian kan ayah dan anak, pasti sama."

"Kau juga anak ayah, Jim." Taehyung duduk di samping tempat Jimin, tangannya terulur mengambil plester. "Kau juga saudaraku."

Jimin mundur ketika Taehyung berusaha menyentuh siku Jimin, "Kau mau apa?"

Taehyung menahan tangan Jimin agar tetap diam, Jimin tidak pernah tahu kalau cengkraman Taehyung sekuat itu, "Mengobatimu, kak." Taehyung memplester siku Jimin yang terluka.

Jimin berdecak, "Jangan panggil aku dengan panggilan bodoh itu." Jimin membereskan kotak P3K nya ke dalam laci meja. Kemudian naik ke atas tempat tidur. "Pergi, aku mau tidur." Jimin menarik selimut melewati kepalanya, berbalik membelakangi Taehyung yang masih duduk di tempat tidurnya.

Tak lama, Jimin merasakan tempat tidurnya bergerak. Taehyung berdiri, berjalan ke pintu kemudian mematikan lampu kamar Jimin.

"Jimin," Ucap Taehyung sebelum keluar, "Selamat malam."

Jimin memejamkan matanya kuat-kuat, tidak ingin membiarkan air matanya lolos malam ini. []





APRICITY ✔   [ SUDAH TERBIT ]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ