15

7.7K 1.5K 70
                                    

Jimin mengerang,  suara cicitan burung dan ketukan pintu kamar beradu membuat Jimin terbangun dari tidurnya yang mungkin baru empat jam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jimin mengerang,  suara cicitan burung dan ketukan pintu kamar beradu membuat Jimin terbangun dari tidurnya yang mungkin baru empat jam. 

Jimin mengusap matanya,gorden tipis bergerak-gerak tertiup angin, Jimin menggigil,  musim dingin rasanya datang lebih cepat dari dugaannya. 

Ketukan pada pintu flatnya membawa atensi Jimin kembali. Dengan enggan,  Jimin bangun dari kasur lipat tipisnya,  mengusap rambut hitamnya yang berantakan seraya berjalan ke arah pintu. 

"Seokjin?" Jimin mengerutkan kening ketika mendapati pemuda yang tinggal di depan kamar flatnya itu berdiri di depan pintu. "Ada apa pagi-pagi membangunkan ku?"

Seokjin terperangah,  "Pagi katamu?  Ini sudah pukul sebelas,  Park Jimin!" omelnya.

Jimin mengerjap,  kemudian raut wajahnya berubah kesal.  "Astaga!  Aku terlambat!" Jimin mengacak rambutnya kasar,  "Kenapa kau baru membangunkan aku?!"

"Ya!  Memangnya aku ini jam alarm mu?"

Jimin berdecak,  "Aishh! Sudah lah, aku harus siap-siap." Jimin hendak menutup pintu kamarnya,  saat tangan Seokjin menahan pintu itu membuat Jimin mengerucutkan bibir kesal,  "Astaga,  apa lagi?  Namjoon bisa marah kalau aku terlambat bekerja!"

"Ini." Seokjin menyodorkan sepiring roti bakar dan menyampirkan sebuag mantel berwarna hitam pada Jimin.

"Apa ini?"

"Kau tidak lihat? ini roti dan mantel." Seokjin merotasikan matanya jengkel.

"Ya aku tahu, tapi untuk apa?"

Seokjin menghela, memasukan kedua tangannya pada mantel musim dinginnya yang berwarna cokelat gelap. "Aku tahu,  kau pasti tidak pernah sempat untuk sarapan, kan? Lihat dirimu.." Seokjin menatap Jimin dari atas sampai ke bawah, "Sudah dua bulan sejak kau pindah ke sini, tapi kau semakin kurus dari sejak pertama kita bertemu."

Jimin menampilkan senyum miringnya, "Kau memperhatikan ku?"

Seokjin mendaratkan satu jitakan pada kepala Jimin, membuat pemuda itu mengaduh,  "Aku serius,  kalau kau butuh sesuatu kau tidak perlu sungkan untuk datang padaku.  Aku akan membantumu."

Jimin terkekeh pelan, "Baiklah,  apa Jungkook sudah berangkat sekolah?"

Seokjin mengangguk ,"Tentu saja,  dia sudah berangkat pagi-pagi sekali." Seokjin menepuk bahu Jimin,  "Yasudah,  aku berangkat dulu, ya. Ah! Itu mantel Jungkook,  mungkin akan sedikit kebesaran untukmu,  tapi setidaknya kau memakai mantal yang hangat karena musim dingin sepertinya akan segera datang. Sampai jumpa, Jimin." Seokjin melambaikan tangan,  kemudian melangkah menyusuri lorong sebelum menghilang di tangga lorong.

Jimin kembali masuk ke dalam flat,  flat berukuran kecil tanpa kamar, meski sisi baiknya tempat itu memiliki kamar mandi sendiri di dalam.

Dua bulan lalu,  Jimin pergi meninggalkan keluarga Kim. Bukan ke Seoul seperti niat awalnya,  melainkan ke Busan,  pemukiman padat penduduk di pinggir pantai. 

Dengan uang seadanya Jimin menyewa flat kecil ini,  beruntung ada seorang lelaki tua yang mau mempekerjakannya untuk bekerja di toko kelontongnya. 

Begitulah Jimin bertahan hidup selama dua bulan ini,  jauh dari keluarga Kim,  jauh dari Taehyung yang tidak dia ketahui bagaimana keadaannya sekarang. 

Meski setiap hari dia selalu berdoa,  Taehyung baik-baik saja di sana.

***

Jimin menyusuri jalanan sempit yang mulai licin,  udara yang dingin ditambah angin laut mulai menyapanya,  beruntung Jimin mendapatkan mantel hangat milik Jungkook,  setidaknya dia tidak terlalu merasa kedinginangan.

Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku mantel,  dari bibirnya mulai mengepul uap dingin. Sampai di belokan ke tiga,  Jimin berlari kecil memasuki sebuah toko berwarna merah menyala.

"Paman Ahn, maaf aku terlambat."
Seorang lelaki tua keluar dari dalam,  rambutnya sebagian sudah memutih,  Paman Ahn tersenyum pada Jimin,  menampakan kerutan di sudut matanya.

"Lebih baik kau cepat ke samping,  Namjoon sudah menunggumu." katanya.

"Ah, iya." Jimin membungkuk,  kemudian berlari keluar lalu ke samping toko. Berjingkat mendekati mobil box yang terparkir di sana.

"Terlambat lagi,  Jimin?"

Jimin membeku,  menoleh horor ke belakang. Menampilkan cengiran yang terasa kaku pada seorang pemuda bertungkai panjang yang sedang mengemut lolipop di mulutnya.

"Hehe.. Maaf."

Namjoon menghela, "Naikan briket itu,  masih kurang lima puluh lagi." Namjoon menunjuk pada tumpukan briket dengan dagunya.

"Ada yang memesan banyak?" tanya Jimin,  sambil mulai mengangkat briket-briket itu ke belakang mobil box.

"Ada tiga rumah." jawab Namjoon.
Setelah selesai mengangkat semua briket yang tersisa,  Jimin duduk di samping kursi kemudi, dimana Namjoon sudah menyalakan mobil box tua itu. 

Mobil bergerak,  melewati jalanan pinggir pantai,  mata Jimin menatap kosong pada hamparan laut dan ombak yang bergulung-gulung di sana.

Mobil itu berhenti di sebuah rumah pada persimpangan penjual ikan dan rumput laut, rumah dengan pagar biru cerah. 

Jimin dan Namjoon dengan cekatan mereka memindahkan tiga puluhan briket ke dalam rumah itu. 

"Jangan menangis."

Jimin menoleh,  dilihatnya dua orang anak kecil, yang sedikit lebih besar sedang menenangkan anak yang lebih kecil yang terlihat sedang menangis.

"Permenku dijatuhkan Min Woo, kak."

"Jangan menangis,  ini,  kakak masih punya satu permen untukmu."

"Tapi.. Itu permen.. Kakak.."

"Kakak tidak suka permennya,  ayo kita pulang."

Kemudian,  dua anak itu bergandengan tangan berbelok ke gang lainnya.  Entah kenapa,  adegan kecil itu membuat Jimin teringat Taehyung, satu kenangan dimana dulu Taehyung dulu juga pernah berbagi permen dengannya. 

Kalau Jimin ingat-ingat, Taehyung selalu berbagi apapun dengannya,  berbagi tanpa Jimin memintanya.

"Jimin!"

Jimin menoleh,  Namjoon sudah berdiri di pintu mobil. Jimin berlari kecil, menghampiri Namjoon, lalu langsung naik kembali ke mobil. 

Mereka kembali berkendara sepanjang pinggir pantai, melewati anak-anak sekolah yang berjalan kaki,  atau bersepeda. 

Tanpa sadar,  Jimin tersenyum kecil,  senyum yang ditangkap oleh Namjoon.  Namjoon menepuk bahu Jimin,  "Kau merindukan suasana sekolah?  Kenapa tidak kembali bersekolah saja, Jim? Di sini,  di Busan."

Jimin menoleh pada Namjoon,  senyum kecil itu kembali dia sunggingkan,  "Kau tahu,  apa yang paling aku rindukan?"

"Apa?"

"Adik ku."

APRICITY ✔   [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang