6

8.9K 1.6K 59
                                    

Kim Taehyung,  baru genap sepuluh tahun hari itu ketika pertama kali bertemu Jimin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kim Taehyung,  baru genap sepuluh tahun hari itu ketika pertama kali bertemu Jimin.  Anak kecil dengan pipi gembil kemerahan yang sedang memeluk ransel berukuran lebih besar dari tubuhnya.

Ayah bilang,  Jimin itu saudaranya,  kakaknya.  Yang Taehyung tahu,  mereka lahir di tahun yang sama, hanya saja Jimin lahir dua bulan lebih dulu dari Taehyung,  tapi tetap saja Taehyung menganggap Jimin sebagai kakaknya seperti kata ayah.

Nenek sering bilang,  Jimin itu jahat,  ibunya itu perempuan jahat, perempuan jahat yang merebut ayah dari ibu Taehyung.  Nenek bilang,  Taehyung harus membenci Jimin,  tidak boleh dekat-dekat dengannya,  tidak boleh bicara padanya,  anggap saja Jimin tidak ada di sana.

Tapi Taehyung tidak bisa,  dia tidak mau,  dia ingin dekat dengan Jimin,  dia suka mengobrol dengan Jimin,  walaupun lebih tepatnya Taehyung yang bercerita pada Jimin,  sementara Jimin mendengarkan tanpa minat.  kedatangan Jimin ke rumahnya saat musim dingin itu membuat hati Taehyung menghangat.

Mereka tumbuh bersama selama delapan tahun,  kamar Jimin berada di samping kamarnya.  Taehyung sering diam-diam mengintip ke dalam kamar Jimin,  lebih sering mematikan lampu kamar Jimin karena pemuda itu selalu lupa mematikan lampu kamarnya.  Atau membereskan meja belajar Jimin yang selalu berantakan.

Taehyung tidak pernah marah setiap kali Jimin berkata sinis padanya,  atau mengacuhkan Taehyung yang dengan semangat bercerita tentang harinya di sekolah,  meski sebagian besar cerita itu adalah bohong. Dia berbohong dengan terlihat bahagia di depan Jimin,  Taehyung membual tentang teman-temannya di kelas,  Taehyung pikir toh mereka tidak sekelas, Jimin tidak akan tahu kalau Taehyung hanya mengarang cerita bahagianya di sekolah.

Taehyung selalu berkata pada Jimin,  kalau Taehyung itu istimewa,  dia itu seperti superhero,  seperti Superman. Pada kenyataannya,  Taehyung selalu menganggap dirinya sendiri aneh,  aneh dan tidak normal.  Dia tidak seperti yang lain,  dia tidak bisa merasakan apapun, bukannya semua orang harus merasakan rasa sakit?  Merasakan pergantian musim,  merasakan apa itu panas dan dingin? 

Taehyung tidak bisa,  dan dia benci itu,  Taehyung membenci dirinya yang aneh,tapi dia ingin terlihat keren di depan Jimin. Lucu bukan?  bagaimana Taehyung ingin terlihat baik di depan anak yang selalu nenek sangkal sebagai cucunya.

Taehyung suka mengikuti Jimin di belakang dengan sepedanya saat berangkat sekolah,  menatap punggung Jimin yang lebih kecil darinya. Karena itu,  beberapa hari lalu Taehyung sengaja mengempeskan ban sepedanya,  sedikit memaksa pada Jimin agar diberi tumpangan ke sekolah. 

Jimin itu termasuk ke dalam murid yang bermasalah di sekolah,  sering berkelahi,  membolos,  rutin mendapat hukuman paling sedikit dua kali dalam dua minggu.  Taehyung tahu tempat Jimin sering membolos, atap sekolah.  Taehyung beberapa kali memergoki Jimin pergi ke sana lewat tangga samping. 

Bagaimana ya rasanya membolos?  Bagaimana rasanya dihukum guru?  Bagaimana rasanya tanganmu dipukul penggaris rotan?  Taehyung selalu memiliki pertanyaan-pertanyaan aneh dalam pikirannya.

Bagaimana rasanya menjadi Jimin?

Bagaimana rasanya menjadi normal?

---

Lagi,  Jimin pulang terlambat hari jumat itu.  Dia menuntun sepedanya memasuki halaman. Namun, beberapa langkah lagi memasuki garasi,  tiba-tiba saja sebuah tangan membekap mulutnya.

Jimin mendelik,  berontak dari bekapan itu membuat sepedanya jatuh dengan bunyi sedikit nyaring karena membentur pintu garasi. 

"Taehyung?!  Apa yang kau lakukan?!" bentak Jimin ketika melihat Taehyung berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.

"Ssst!" Taehyung meletakan telunjuknya ke bibir,  "Jangan masuk ke rumah,Jimin."

Kening Jimin berkerut,  "Kenapa?" oh,  bagus,  apa sekarang dia diusir dari rumah?

"Temani aku keluar." pinta Taehyung.

Jimin diam sesaat,  kemudian menghela.  Pemuda itu membangunkan sepedanya yang jatuh, lalu memarkirkannya dengan rapi di sebelah sepeda Taehyung yang ban nya masih kempes,  sepertinya Taehyung belum memperbaiki ban sepedanya. 

"Pergi saja sendiri." tolak Jimin.

"Jim," Taehyung menahan lengan Jimin,  mata bulat cemerlangnya terlihat memerah, Jimin baru sadar,  Taehyung seperti habis menangis.  "Kali ini saja,  temani aku."

Jimin merotasikan matanya,  belakangan ini sikapnya jadi terlalu lembek pada Taehyung.  Tapi memang selama ini Jimin juga tidak bisa terlalu keras pada Taehyung. "Aku tidak mau disalahkan kalau nanti nenek dan ayahmu marah!"

Taehyung mengangguk cepat,  senyum kotaknya muncul lagi.  Lalu menarik lengan Jimin untuk mengikutinya berlari.  Keduanya berlari melintasi halaman,  Taehyung membuka pagar hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi terlalu gaduh, kemudian berlari keluar.

Jalanan yang mereka lalui sudah sepi, penerangan jalan yang seadanya tidak membuat jalanan itu terasa gelap karena Jimin baru menyadari kalau malam itu, bulan purnama bersinar terang. 

Mereka melewati peternakan paman Choi, beberapa domba yang dibiarkan merumput di lapangan luas dengan pagar mengelilinginya terlihat sudah saling bergerombol dan terlelap.

Suara burung hantu dan gesekan sepatu Jimin juga Taehyung pada aspal yang basah bekas hujan tadi sore memecah keheningan malam itu.  Tangan Taehyung masih berada di pergelangan tangan Jimin,  tidak menarik. Hanya seperti menggengamnya. 

"Kau mau membawaku kemana, Tae?  Ini sudah cukup jauh dari rumah." Jimin melihat sekeliling, mereka bahkan sudah melewati rumah kakek Yoon, yang cucunya biasa mengantar susu ke rumah keluarga Kim.

"Sebentar lagi kita sampai,  Jim." hanya itu jawaban Taehyung.

Mereka melewati jembatan merah di samping kantor pos,  lalu melewati lapangan sepak bola,  berbelok ke jalan setapak di mana kanan kirinya tumbuh pohon sakura yang sedang mekar.  Jalan setapak itu ditutupi bunga sakura yang berguguran,  beberapa masih jatuh dan mendarat di kepala Jimin dan Taehyung.

Jalan setapak itu berakhir di sebuah tanah sempit yang berumput dengan sebuah danau yang tidak terlalu besar di tengahnya. Beberapa bunga teratai tumbuh di atas permukaan danau.

"Tempat apa ini?" tanya Jimin,  delapan tahun Jimin di desa itu, dia tidak pernah tahu tempat ini.

Taehyung berjalan beberapa langkah,  kemudian berbalik,  kedua tangannya terentang,  angin malam kembali mengacak rambutnya,  senyum kotak yang seakan tidak pernah luntur dari wajah Taehyung ketika berhadapan dengan Jimin.

"Selamat datang di tempat rahasiaku." katanya.

Bersamaan dengan itu,  puluhan kunang-kunang muncul dari balik pohon sakura,  melayang-layang di atas danau,  menyerupai lentera yang indah. []

APRICITY ✔   [ SUDAH TERBIT ]Where stories live. Discover now