SATU

17.4K 1.6K 135
                                    

Kim Namjoon, sangat menyukai akhir pekan di musim semi. Itu, adalah salah satu hari terbaik dari 365 hari yang dia lewati dalam setahun. Alasannya, apalagi kalau bukan cuaca yang mendukung untuk bermalas-malasan seharian di atas tempat tidur. Bergelung di bawah selimut yang hangat dengan sinar matahari yang sedikit mengintip dari balik gorden abu-abu yang sedikit tersingkap, juga pemandangan sepasang mata bulat yang menatap tajam padanya.

Tunggu dulu! apa tadi?

Namjoon membuka mata, iris sipitnya bersitatap dengan sepasang mata bulat yang menatapnya tajam dengan bibir mengerucut kesal.

"Astaga! Haneul!" Namjoon nyaris terlonjak dari tempat tidur, "Kau mengagetkan ayah." Namjoon mengusap dadanya sendiri,serius! dia benar-benar kaget melihat anak perempuannya yang berumur delapan itu berdiri di samping tempat tidur.

Kim Haneul, bocah perempuan berambut hitam yang sudah bisa menguncir rambutnya sendiri itu masih mengerucutkan bibirnya. Mata bulatnya yang dihiasi bulu mata lentik itu tetap menatap sang ayah dengan tatapan tajam, yang sukses membuat Namjoon meneguk ludah melihat bagaimana anak perempuannya itu terlihat sangat menakutkan jika sedang marah, ah benar-benar persis ibunya.

Namjoon menghela napas, kemudian menyingkap selimutnya. Tubuhnya bergerak ke tepian ranjang lalu menarik Haneul untuk mendekat, menggenggam sepasang tangan mungil yang dulu sering dia ciumi ketika masih bayi. "Jadi, apa salah ayah kali ini?" tanya Namjoon, karena sungguh, dia bahkan tidak tahu apa yang membuat anaknya ini benar-benar kesal.

"Ayah sudah berjanji mengajak ku ke taman bermain hari ini." akhirnya Haneul membuka suara.

Jawaban 'ah'  lolos dari bibir Namjoon tanpa suara namun masih bisa Haneul tangkap.

"Ayah pasti lupa, kan?" Tanya Haneul, "Selalu begitu, ayah selalu lupa bermain denganku." Haneul menjatuhkan pandangannya pada sepasang kaki kecilnya yang telanjang, padahal dia sudah menantikan akhir pekan kali ini karena sang ayah sudah menjanjikannya untuk pergi ke taman hiburan bahkan sejak dua minggu yang lalu, tepatnya saat Namjoon lagi-lagi mengingkari janjinya untuk menghabiskan waktu bersama Haneul.

Ada rasa bersalah menyelip di antara rongga dada Namjoon yang mendadak sesak, dia tidak bisa melihat anaknya berwajah sedih dan muram seperti ini. Namun sayangnya, Namjoonlah yang lebih sering menjadi alasan wajah sedih Haneul muncul.

"Ayah minta maaf." Namjoon mengusap rambut Haneul.

"Hmm, aku maafkan." Jawab Haneul pelan.

Namjoon menarik tubuh Haneul, mendekapnya erat, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuh anak kesayangannya itu, "Bagaimana kalau kita makan ice cream saja hari ini?" tanya Namjoon ketika melepaskan pelukannya, "Kau boleh makan ice cream sebanyak yang kau mau."

Senyum itu muncul di wajah Haneul, membuat satu lesung pipi di pipi kanan anak perempuan itu muncul. Satu-satunya yang membuat Namjoon benar-benar merasa Haneul memanglah anaknya, setidaknya Haneul memiliki satu lesung pipi sepertinya. "Benarkah? ayah tidak akan marah kalau aku makan banyak ice cream?"

Namjoon tersenyum, kemudian mengusap pucuk kepala Haneul, "Tidak akan."

"Yeay!!" Haneul memekik senang, lalu memeluk ayahnya, mendaratkan satu ciuman di pipi Namjoon.

Namjoon bennar-benar merasa beruntung memiliki Haneul, sebab anak itu adalah satu-satunya obat yang berhasil membuat luka di hatinya perlahan-lahan menjadi sembuh.

----

Hari yang paling Kim Namjoon syukuri adalah ketika untuk pertama kalinya dia melihat Haneul lahir ke dunia ini. Ada rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya ketika tangannya menyentuh jari-jari mungil Haneul, ketika pertama kali mendengar tangisan Haneul yang pecah, dan ketika melepas teman hidupnya pergi selama-lamanya.

Oh, untuk yang terakhir itu tentu saja bukan termasuk ke dalam hari yang paling Namjoon syukuri. Hari-hari berikutnya, benar-benar menguras tenaga dan pikiran Namjoon. Dia yang harus bertahan sendirian untuk membesarkan Haneul. Dia yang kebingungan ketika Haneul menangis di malam hari dan membuatnya terjaga semalaman, dia yang tidak bisa tenang saat harus bekerja di luar kota di saat Haneul tengah sakit dan Namjoon tidak ada di sana.

Kim Namjoon yang harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu diusianya yang baru menginjak dua puluh delapan tahun.

"Ayah, kaus kaki ku tidak ada." kata Haneul pada Namjoon yang sedang sibuk memasang dasi merah maroonnya di depan kaca.

"Tadi sudah ayah letakan di atas tempat tidurmu, Haneul." kata Namjoon sembari mengencangkan dasinya.

"Aku tidak bisa menemukannya ayah." rengek Haneul sambil menarik tangan Namjoon untuk mengikutinya ke kamar.

Kamar Haneul berwarna merah muda, khas perempuan sekali, tentu saja. Namjoon mengecatnya sendiri ketika Haneul berusia enam tahun, dengan setengah hati. Karena menurutnya, Haneul masih terlalu kecil untuk tidur sendirian, tapi agaknya Haneul adalah anak perempuan yang pemberani, atau mungkin karena waktu itu dia mendengar cerita bahwa teman-temannya yang lain juga sudah tidur sendiri.

Meski begitu, di hari-hari tertentu, seperti saat hujan badai, atau saat Haneul mimpi buruk, atau saat Namjoon berulang tahun, Haneul sering tidur bersamanya, berlindung di balik dekapan hangat sang ayah dengan detak jantung Namjoon sebagai musik pengantar tidurnya.

Namjoon melihat sekitar, kemudian berjongkok, menengok ke bawah tempat tidur dan menemukan kaus kaki Haneul di sana. Namjoon mengangkat sepasang kaus kaki itu, dan Haneul hanya menyengir mengambil kaus kaki itu lalu berlari ke luar kamar, meninggalkan Namjoon yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sifat ceroboh anak itu, tentu saja menurun dari ibunya.

Karena, kalau Haneul memiliki sifat Namjoon maka Haneul akan...

"Ayah, roti panggangnya gosong!"

Menjadi seorang yang pelupa sekaligus ceroboh di waktu yang bersamaan.[]

Send My Letter to Heaven ✔Where stories live. Discover now