ENAM

3.9K 857 11
                                    

Kim Taehyung, pernah bermimpi membangun keluarga yang bahagia.  Seorang istri yang cantik dan akan memasakan makanan kesukaannya, anak-anak yang lucu yang akan bermain bersamanya sepulang bekerja. 

Lalu entah sejak kapan,  dia ingin membangun rumah tangga impiannya itu bersama Choi Sarang.  Gadis cantik tapi sedikit tomboy yang menjadi sahabatnya sejak SMA.  Gadis yang gemar bermain bola namun menyukai bunga matahari,  gadis ceroboh yang selalu menumpahkan susu pisang yang dia minum ke hoodie hitam yang selalu dia pakai,  hadiah ulang tahun dari Namjoon katanya.

Ah,  Namjoon.  Kim Namjoon,  sahabatnya yang lain. Temannya bermain bola,  bermain game,  tempatnya bercerita dan berbagi rahasia.  Temannya yang  tersesat saat  kedua orang tua pemuda tinggi itu meninggal dunia. 

Bukankah setiap orang punya permasalahan mereka masing-masing?  Bukan hanya Namjoon yang rasanya butuh dirangkul,  tapi Taehyung juga.  Lalu,  kenapa Sarang hanya mempedulikan Namjoon? Kenapa gadis itu selalu memikirkan keadaan Namjoon,  tapi tidak pernah memikirkan keadaan Taehyung?  Cinta bertepuk sebelah tangan yang menyakitkan, tapi Taehyung masih tahu diri untuk tidak bersaing dengan lelaki yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri.

Lalu hari itu datang,  hari di mana ia mengutuki dirinya sendiri karena sudah membuat kesalahan yang besar. Dosa yang mungkin tidak bisa termaafkan,  rasa bersalah yang akan selalu ada sampai dia mati.  Harusnya Namjoon bukan hanya memukulnya satu kali saat itu,  harusnya Namjoon membunuhnya saat itu juga.  Bukankah Namjoon berhak?  Karena Taehyung sudah merusak gadis yang Namjoon cintai. 

Bagaimana dia bisa menikahi seseorang yang ditidak pernah mencintainya?  Bagaimana dia bisa menikah dengan Choi Sarang yang mungkin lebih ingin menikah dengan Kim Namjoon dari pada Kim Taehyung?

"Haneul-ah!"

Taehyung melambaikan tangan ketika melihat Haneul berjalan menuju gerbang sekolah,  bergandengan tangan dengan beberapa temannya yang saling melempar tawa.

Haneul melambaikan tangan pada teman-temannya sebelum menghampiri Taehyung,  "Paman? Kenapa paman di sini?  Anak paman sekolah di sini juga?" tanya Haneul.

Taehyung berjongkok,  lalu menggeleng,  "Tidak, paman ke sini untuk menjemput Haneul."

"Menjemput? Tapi biasanya paman Yoongi yang menjemput Haneul." jawabnya.

Taehyung diam,  mencari alasan lain. "Paman ingin mengajak Haneul jalan-jalan, bagaimana kalau kita pergi ke tamab hiburan?" tanyanya.

Mata bulat itu berbinar,  namun kemudian senyum yang tadi nampak tiba-tiba saja menghilang.  "Tapi,  kata ayah Haneul tidak boleh pergi dengan orang yang tidak dikenal."

Kim Taehyung bisa maklum, bagi Haneul dia adalah orang yang tidak dikenal. Orang asing yang tiba-tiba saja datang, dan itu membuat Taehyung sakit.  "Pasti ayahmu belum memberitahu,  ya?  Paman ini sahabat ayah dan ibumu."

"Benarkah?"

Taehyung mengangguk,  lalu mengeluarkan dompet dari saku belakangnya.  Memperlihatkan sebuah foto yang masih dia simpan di dalam dompetnya, selembar foto yang menjadi pengobat rindunya selama delapan tahun terakhir ini. Taehyung memberikan foto itu pada Haneul.

"Ibu." Haneul mengusap wajah Sarang yang berada di dalam foto itu, anak itu selama ini hanya bisa mendengar cerita-cerita tentang ibunya yang diceritakan oleh sang ayah, juga hanya bisa memeluk foto ibunya ketika Haneul merasa rindu.

"Paman punya banyak cerita tentang ibumu," kata Taehyung. "Bagaimana kalau paman ceritakan sambil makan ice cream? mau?"

Haneul mengangguk.

Taehyung mengulas senyum, mengusap rambut anaknya, ah matanya mirip aku, ternyata dia benar-benar anak ku. Taehyung berdiri, tangannya terulur, meraih tangan kecil Haneul, bergandengan menuju mobilnya.

Bukankah ini hari yang indah untuk menghabiskan waktu bersama anaknya?

***

Kaki Namjoon bergerak-gerak gelisah, beberapa kali dia memperbaiki posisi duduknya, meneguk air putih dari botol yang isinya sudah hampir habis. Namjoon tidak bisa berkonsentrasi dengan rapat yang sedang berlangsung, entah kenapa, perasaannya tidak enak.

Saat ponselnya bergetar di atas meja, Namjoon langsung buru-buru pamit untuk mengangkat telepon. Itu dari Yoongi, dan kalau Yoongi sudah menelpon dapat dipastikan kalau ini menyangkut Haneul.

"Halo, hyung."

"..."

"Aku ke sana sekarang."

Firasat orang tua itu tidak akan pernah salah. Barusan saja Namjoon mendapat kabar dari Yoongi bahwa Haneul tidak ada di sekolah saat Yoongi sampai ke sana untuk menjemputnya. Setelah meminta izin pada atasannya, Namjoon langsung buru-buru melajukan mobilnya ke sekolah Haneul, dengan kecepatan penuh, bahkan kalau dia harus menerobos lampu merah sekalipun akan dia lakukan.

Tidak sampai dua puluh menit, Namjoon sudah memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah Haneul, dilihatnya Yoongi tengah berbicara dengan seorang pria berseragam yang Namjoon ketahui sebagai penjaga sekolah itu.

"Bagaimana bisa Haneul tidak ada di sekolah?!" tanya Namjoon penuh emosi pada Yoongi.

Yoongi memijit pelipisnya, "Aku juga tidak tahu. Begitu aku sampai, Haneul sudah tidak ada, biasanya dia menungguku di sini."

Namjoon ingin mengumpat, ingin menyalahkan seseorang namun dia sadar bahwa Yoongi juga tidak berhak disalahkan karena seharusnya ini menjadi tanggung jawabnya sebagai ayah Haneul yang menjemput anak itu. Yoongi memiliki kehidupannya sendiri.

"Tadi, saya lihat ada laki-laki yang mengajak Haneul bicara dan membawanya pergi." kata penjaga sekolah.

"Laki-laki?" Muncul dugaan di kepala Namjoon dan Yoongi.

"Mereka terlihat akrab, jadi saya pikir Haneul sudah mengenalnya." katanya lagi.

Pembicaraan itu terputus karena tiba-tiba saja ponsel Namjoon berbunyi, nomor yang tidak dia kenal namun Namjoon tetap menjawabnya.

"Halo."

"Hyung, Haneul..."

Harusnya waktu itu Namjoon langsung membunuh Kim Taehyung saja.

Send My Letter to Heaven ✔Where stories live. Discover now