|| Rasa yang tak bertumpu

171 31 0
                                    

Pengumuman jam kosong selama satu minggu, membuat penat di kepalaku seketika reda. Setidaknya, kumpulan rumus yang membuatku ingin muntah, bisa disingkirkan beberapa saat. Dan satu hal lagi, aku harus bisa mendapat izin dari orang tua agar aku bisa masuk club badminton lagi. Kadang memikirkan itu membuatku kembali murung. Mengingat, bagaimana perhatiannya orangtuaku kepadaku. Dulu, aku memang pernah hampir patah tulang, ketika salah mendaratkan kaki setelah melompat menerbangkan bola.

Aku melangkahkan kaki menuju tempat favoritku, sekalian mencari inspirasi untuk melanjutkan ceritaku.

Ketika sampai di terakhir ujung tangga, aku terdiam. Memandangi atap rumah masyarakat yang terlihat nampak kecil. Matahari tidak terlalu memancarkan teriknya. Kehangatan mulai menyusupi badanku. Aku membiarkan angin lepas menyapu lembut wajahku. Bibirku tidak bisa untuk tidak tertarik. Aku sangat menyukai hal ini. Di tengah kesepian, aku menikmati kenyamanan ciptaan Tuhan.

Aku melanjutkan langkahku pelan. Mencari tempat terteduh untuk mencari sumber imajinasi. Di tengah kegiatanku mengetik cerita, suara bariton yang bergemuruh terdengar di telinga. Aku menoleh sejenak, mencari seseorang di sana. Dan benar saja, mereka adalah Kak Aska bersama teman-temannya. Aku segera menatap ke arah lain, berusaha menghindari tatapan mereka.

Di lingkupi rasa penasaranku, aku memantapkan untuk menengok ke arah mereka. Aku menahan napas seketika wajah berseri Kak Aska berhasil terpotret retina. Detak jantungku tidak terkontrol, sama seperti ketika aku bertemu pertama kali dengannya.

Aku semakin terpana melihatnya seperti itu. Tertawa kencang dengan obrolan ringan bersamaan dengan rambutnya yang terkena hembusan angin.

Aku merasa tertohok ketika dia menatapku. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa pipiku semakin memanas, aku berlari kecil menuruni tangga dan segera menuju kelasku. Aku tidak bisa terus seperti ini. Caraku terdengar sedikit berlebihan. Dan aku takut, dia mengerti segalanya setelah dua kali ini memergoki caraku memandangnya.

Aku memang menyukainya. Tapi, aku belum siap jika dia mengetahui semua perasaanku. Aku takut dia malah menjatuhkan segala egoku dengan menyakiti perasaanku.

Aku mengusap pipiku. Kenapa aku menangis? Aku terlihat bodoh dengan seperti ini. Aku mengerti, caraku ini akan lebih menyakiti perasaanku. Beberapa menit kemudian, aku melihat Lea mendekatiku. Mungkin dia akan memarahiku karena kebodohan yang akhir-akhir ini aku gemari.

"Udah aku bilang kan! Gak usah terlalu suka sama kakak kelas itu. Mengagumi boleh aja sih. Tapi, kamu kelihatannya udah terlanjur jatuh cinta sama dia." katanya padaku.

Aku terdiam sejenak. Menghela napas pelan. "Aku gak tahu. Apa ini udah bisa dikatain jatuh cinta. Tapi, emang ini kenyataanya Lea. Aku suka sama Kak Aska."

Aku begitu lelah dengan perasaanku. Aku ingin menenangkan pikiran sejenak. Lea mengajakku ke taman belakang kelas kami. Di sana, aku menceritakan segala perasaan yang aku pendam. Setelah Lea mendengar semua ceritaku, dia mendekapku. Seakan menyalurkan segenap kekuatannya untukku.

"Killa cengeng banget ya ternyata," ucapnya seakan meledekku.

Aku malah tertawa kecil. "Masih tau sekarang?"

"Ya udah lama sih. Aku kan udah tahu semuanya tentang kamu."

Lea menjawab seakan-akan sudah mengerti segalanya. Aku mendelik, "Coba apa aja yang kamu tahu dari aku?"

Lea hanya tertawa kemudian berucap, "Ya walaupun  kamu itu  cerewet, sok bodoh, suka ngehibur aku, tapi malamnya kamu sering nangis sendirian kan? Mungkin karena banyak beban hidup, atau bisa juga tentang.. you know lah!."

Aku mencerna perkataan Lea. Kenapa dia tahu kalau aku suka menangis di rumah. "Kamu kok tahu?"

Wajahnya yang seketika meledekku itu hilang ketika mendengar lontaran kalimat yang ku ucap. Mendadak raut wajahnya berubah, seperti sedikit gugup.

"Ya tahu lah! Lea gitu loh."

"Kak Candra?" Aku bertanya sembari membiarkan senyum jahilku terlihat olehnya.

Lea mengangguk samar. "Ya gitu deh."

Aku sudah menduga bahwa mereka tidak hanya sebatas teman saja. Mengingat ketika Bang Candra yang sering menanyakan kabarnya, ketika Lea jarang main ke rumah saja membuatku yakin kalau Bang Candra memiliki perasaan lebih kepada Lea. Aku dan kakakku hanya selisih 4 tahun. Itu yang membuat kakakku masih terasa pantas menjalin hubungan dengan gadis seumuranku.

Aku melihat Lea yang pipinya kian merona. Ide jahil terlintas di kepalaku. Aku semakin gencar menggodanya. Dan sejenak, aku bisa melupakan pikiranku yang masih berkecamuk tentang Dia.

_______________________________________

Harusnya dari dulu aku tidak menyimpan namamu dalam benakku.
Memang benar, kamu tidak mengetahui seberapa dalam perasaanku.
Mungkin, hanya ketika semesta mengizinkan saja kamu akan tahu.
Keputusanku sangat bulat ketika aku ingin melepasmu.
Tapi, semua tak pernah terjadi. Semua tak pernah bisa.
Rasaku masih saja sama, menyukaimu.
Dan sekarang, aku mengambil cara lain. Mencoba memahami keadaan dan perasaan.
Akan ku biarkan rasa ini mengalir dengan sendirinya.
Jika suatu saat aku sudah lelah, aku tak perlu memikirkan bagaimana caraku melupakannya.
______________________________________

PROSPECT HEART (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang