ll Apa ini, titik terang?

58 24 0
                                    

Setelah beberapa hari Ujian Nasional berlangsung, kini semua kelas bebas. Termasuk kelas 11 dan 10, karena para guru masih harus mengurus hasil nilai.

Aku duduk didepan kelas sambil memainkan ponsel. Melihat seberapa banyak pembaca karyaku. Aku tersenyum ketika angka disana bertambah. Ini semua berkat usahaku dan Bagas. Dia selalu membangkitkan inspirasi untukku menulis.

Tiba-tiba aku teringat, awal dimana aku bertemu dengannya, saling berkenalan, lalu menjalin sebuah persahabatan. Bibirku tertarik ketika memori dimana Bagas selalu mengomeliku. Dia memang benar-benar seorang sahabat. Jangan lupakan Lea. Sahabat sejatiku itu sudah menjalin hubungan lebih serius dengan kakakku. Sekarang, dia jarang sekali menjadi teman curhatku. Meskipun seperti itu, tidak ada sebuah perbedaan diantara kami.

Disela jariku mengetikkan sesuatu, aku mendengar derap langkah kaki yang kian mendekat. Aku menatap arah itu, dan seketika aku harus membeku ditempat.

"Killa," sapa Kak Aska sembari berjalan kearahku. Kini, dia sudah ada didepanku. Berdiri sambil memandangiku. Aku masih terdiam dan enggan untuk menyapa balik.

"Boleh saya duduk disini?" Kak Aska menunjuk bangku sebelah yang kosong. Lantas aku mengangguk.

Aku mengalihkan fokusku pada ponsel lagi. Mengirimkan sesuatu untuk Bagas. Aku sangat tidak menyukai hal ini. Berada dalam suasana canggung, padahal banyak kata yang ingin terlontarkan.

"Kamu lagi ngapain? Kemarin aku chat kok gak dibales?" Kak Aska menyandarkan punggungnya dikursi sembari menghela napas. Seketika aku teringat, kalau semalam ponselku berdering. Aku segera men-scroll chat yang masuk. Dan benar, disana tertulis nama Kak Aska.

"Maaf, Kak. Semalem aku gak buka hp." jawabku.

"Killa, saya gak mau berada dalam kecanggungan ini. Saya ingin semuanya kembali seperti dulu. Kamu jangan menjauh dari saya. Saya tau, kalau banyak kesalahan yang sudah saya perbuat. Seperti, membiarkanmu men-handle organisasi padahal kamu masih butuh bimbingan."

Aku menoleh kearahnya. Menatap nanar dengan penuh kekecewaan. Apa dia sama sekali tidak menyadari, siapa yang menghilang, menjauh, dan mengasingkan diri seolah-olah tak pernah mengenali. Dimana Kak Aska yang selalu sadar diri? Yang selalu membuatku lebih mengenali jati diri. Dan sekarang, lihat! Dia sama sekali tidak sadar diri.

"Memangnya, apa aku pernah menjauh dari Kak Aska? Apa aku juga menghilang? Jelas-jelas malah aku merasa, Kak Aska yang mengasingkan diri. Kak Aska gak pernah menghubungiku padahal masih banyak kepentingan yang harus di diskusikan bersama. Tapi kenapa, Kak Aska malah mengatakan semua itu? Seolah-olah aku jadi orang yang gak bertanggung-jawab. Dan suka menghilang gitu aja." Aku sungguh kecewa. Api amarah telah berkobar. Padahal, dulu didekatinya saja aku sudah tak kuasa untuk berbicara apa-apa.

"Maksud kamu apa, Killa?" tanya Kak Aska membuatku menghela napas kasar. Aku memejamkan mata, berusaha mengendalikan amarahku.

"Kenapa, Kak Aska seolah-olah gak pernah kenal sama aku? Apa aku punya kesalahan, sehingga membuat Kak Aska harus menjauh?"  Pertanyaan itu lolos begitu saja, setelah sekian lama aku memendamnya.

Dia menoleh. Aku membeku dengan perlakuannya yang sebelumnya tidak pernah ku duga. Ku pikir, dia akan marah dan kembali menjadi Aska yang tak pernah ku kenal. Ku pikir, dia akan pergi dan kembali menjadi Aska yang mengasingkan diri. Tapi, dia malah membelai rambutku. Matanya tak beralih menatapku.

PROSPECT HEART (End)Where stories live. Discover now