ll Pertanyaan tanpa jawaban

58 25 0
                                    

Bel yang berbunyi membuatku bergegas keluar kelas. Membawa sebotol air minum dan laptop, aku menuju tempat biasa. Taman belakang sekolah. Kali ini aku tidak mengajak siapapun. Bahkan, Lea yang ingin ikut saja tidak aku setujui.

Entah kenapa, hari ini aku ingin sendiri. Merenungkan apa yang telah terjadi beberapa hari yang lalu. Aku sedikit tak mengerti dengan perubahan sikap Kak Aska setelah meninggalkanku waktu itu. Dan sudah dua hari ini dia menghilang. Dia sama sekali tidak menghubungiku, walau sekedar memberitahu jadwal latihan.

Dua hari yang berlalu pun, aku juga sudah mencarinya ditempat biasa yang dia datangi. Aku juga menunggu setiap pagi didepan kelas, yang biasanya dia akan lewati. Menyusuri lorong depan kelasnya, tapi aku tak pernah bertemu dengannya. Tak lupa, aku mendatangi venue Istora, dan lapangan Gelora. Tempat aku dan dia menghabiskan waktu bersama. Untuk berlatih atau hanya sekedar menemaninya.

Aku membuka laptopku. Dan memutar lagu tersiksa rindu dari Dygta. Menyalurkan segenap rasa rinduku padanya. Menikmati sepoi angin yang menerpa. Dan memutar kembali memori ketika aku bersamanya. Tertawa bersama, tak lupa kecanggungan yang pernah ada.

Setiap lirik lagu yang terlewati, aku merasakan kepedihan yang mendalam. Tapi, tetap aku biarkan. Aku sedang rindu padanya. Dan saat ini, rasanya sungguh berbeda. Tidak seperti dulu. Mungkin, karena rindu yang kali ini, hadir setelah aku bisa menikmati tawanya, senyumannya, suaranya, dan tatapan mata indahnya.

Kak Aska, kamu dimana?

Setelah 15 menit berlalu, aku memilih menyelesaikan pekerjaanku. Aku sedang rindu, dan ini menyiksa perasaanku. Sekarang, aku bisa menulis. Aku ingin sekali karya ini segera selesai. Tapi, aku masih menunggu ending -nya. Apakah mereka yang ada disana, akan saling meninggalkan. Atau mungkin, akan bersatu dan menikmati segala perjuangan.

***

"Jika dalam sebuah perjuangan ada saatnya kita merasa tersakiti, maka istirahatlah. Mungkin dengan hilangnya lelah dibadanmu, perasaanmu akan sedikit membaik."

"Yang sakit itu perasaannya, bukan badannya. Mana mungkin, kalau aku sekarang tidur, setelah bangun nanti semua akan kembali seperti semula." Aku menyanggah perkataan Bagas.

Pulang sekolah seperti biasa, Bagas akan menjemputku dan membawaku ke sebuah tempat. Ini sesuai perjanjianku tempo dulu. Dan ini sesuai perkataannya waktu itu. Aku sudah duduk manis di jok belakang motor besarnya. Sedari tadi, dia mengomeliku karena aku tak kunjung berbicara. Hanya diam dan memikirkan dia yang entah kemana.

"Hm, Bagas... Kenapa sih, kita harus keluar tiap hari. Aku kan juga bisa nulis ceritanya dirumah. Lagian aku juga gak perlu tempat indah terus, kok." ujarku pelan.

Aku melirik wajah Bagas dari kaca spion. Dia hanya diam, dan fokus menyetir motornya. Aku memilih bungkam dan enggan berbicara lagi.

"Masuk, yuk!" Bagas menarik lengan seragamku untuk mengikutinya. Aku hanya menurut, tapi tidak membalas perkataannya.

Setelah pelayan cafe memberikan dua minuman untuk kami, aku membuka laptopku. Menuliskan sesuatu disana. Berharap rasa yang menyiksa ini segera pergi.

Sekitar satu jam yang telah terlewati, aku merasa enggan melakukan sesuatu. Aku sedikit terganggu ketika bertemu dengan tatapan Bagas yang sendu. Aku tidak tahu, apa maksud tatapan itu. Tapi, ketika kami bertemu mata, dia malah membuang muka. Kemudian, bertingkah menatap ponselnya. Seakan ada sesuatu yang lebih penting disana.

PROSPECT HEART (End)Where stories live. Discover now